Kota Tasik Termiskin, Tapi Hobinya Bagi-Bagi

Kota Tasik Termiskin, Tapi Hobinya Bagi-Bagi

BUNGURSARI — Meski Kota TasikA­malaya menempati ranking tinggi berkaitA­an kemiskinan di Jawa Barat.


Pemerintah Kota Tasikmalaya tetap royal dalam membagikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam bentuk hibah terhadap kelompok masyarakat di setiap instansi.

Hal tersebut diungkapkan Dewan Daerah Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Nandang Suherman. Menurut dia, pola pembelanjaan anggaran daerah, tidak relevan dengan persoalan yang secara faktual dihadapi masyarakat, yakni kemiskinan.

Di mana, tahun 2021, Pemkot mengalokasikan bantuan hibah untuk kelompok masyarakat mencapai Rp 80 miliaran yang disebar di sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD).

“Jadi anggaran untuk persoalan kemiskinan kecil itu, bukan karena tidak ada anggaran. Sebab, kalau melihat angka bagi-baginya, (hibah, Red) itu sangat terlihat royal. Hibah kepada kelompok masyarakat yang notabene memang warga kita, tetapi tidak miskin,” kata Nandang kepada Radar, Minggu (14/3/2021).

Dia merinci belanja hibah yang dialokasikan tahun ini, pada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik dialokasikan Rp 3,8 miliar. Dinas Kepemudaan, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata (Disporabudpar) Rp 4,4 miliar, Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Perikanan Rp 5,7 miliar serta Dinas Pendidikan Rp 14,6 miliar.

Serta Kecamatan Bungursari mendapat alokasi hibah Rp 2,1 miliar, Kecamatan Cibeureum Rp 2,5 miliar, Kecamatan Cihideung Rp 1,9 miliar kemudian Kecamatan Cipedes Rp 1,7 miliar.

Selain itu, Kecamatan Indihiang Rp 1,9 miliar, Kawalu Rp 2,9 miliar dan Mangkubumi Rp 1,5 miliar. Kecamatan Purbaratu mendapat alokasi Rp 1,7 miliar, Tamansari Rp 2,1 miliar kemudian Tawang mendapatkan Rp 1,9 miliar.

Sekretariat Daerah (Setda) Kota Tasikmalaya mendapat alokasi paling tinggi dengan nominal Rp 20 miliar, sementara OPD lainnya dibawah Rp 1 miliar.

“Jika ditotalkan untuk hibah itu seluruhnya Rp 73.690.610.219 (73 miliar, Red). Bahkan satu kecamatan ada yang lebih dari Rp 2 miliaran,” kata Nandang merincikan.

Meski Pemkot melaksanakan belanja hibah dengan skema baru, yakni tidak semua jenis belanja hibah ditangani Setda khususnya Bagian Kesejahteraan Rakyat (Kesra), tetap saja nominalnya sangat fantastis dibandingkan dengan anggaran bertema kemiskinan.

“Jadi sekarang aturan baru, hibah kan didistribusi ke OPD-OPD sesuai leading sektor para penerima hibah. Hampir semua OPD ada, mulai puluhan juta sampai Rp 20 miliar,” jelasnya.

Nandang menganalisa dari delapan fungsi APBD, yang diantaranya untuk pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sosial. Alokasi perlindungan sosial sangat minim, yang salah satu fungsi programnya berkaitan pengentasan atau kepedulian terhadap warga miskin.

“Kalau dibandingkan dengan belanja-belanja berkaitan kemiskinan ya paling kecil sekali. Saya runut di APBD tahun ini, fungsi untuk sosial itu persentasinya hanya hitungan jari,” ujar pemerhati anggaran dari Perkumpulan Inisiatif Bandung tersebut.

Ia menilai Pemkot terbilang royal dalam mengakomodir usulan publik bersifat kelompok atau organisasi. Dibandingkan pengakomodiran tugas fungsi pemerintah untuk melindungi dan mengurus warga miskin.

“Jadi lucu memang, cita-citanya menurunkan angka kemiskinan malah menurunkan kemiskinan dari warga terhadap keturunannya. Terus saja turun temurun miskinnya, karena pola program pemerintahnya begini,” seloroh Nandang.

“Pemkot royal, berbagi terhadap kelompok atau organisasi. Tetapi 'pelit' terhadap warga miskin. Maka pantas ketimpangan sosialnya begitu tinggi,” sambung Nandang.

Sebelumnya, Ketua Komisi IV DPRD Kota Tasikmalaya Dede Muharam mengakui terjadinya anomali di tengah gegap gempita pembangunan infrastruktur, laju usaha sebagian masyarakat dengan kondisi kemiskinan yang ada secara faktual maupun berdasarkan data.

Menurut Dede, di tahun 2021 pos belanja untuk perlindungan sosial tidak mengalami peningkatan atau perubahan dari pola penganggaran tahun-tahun sebelumnya.

Sehingga, kata dia, akan berat dalam mendorong percepatan pengurangan angka kemiskinan, ketika dampak Covid-19 membuat masyarakat kian kesulitan.

“Maka akan berat, dengan postur APBD yang hanya terkonsentrasi terhadap pembangunan fisik, ya sulit,” keluh Dede kepada Radar, Jumat (12/3/2021).


Politisi PKS itu menilai intervensi pemerintah dalam upaya menangani persoalan kemiskinan, bisa terlihat dari pola penganggaran belanja berkaitan sosial dan pemberdayaan. Namun, apabila berkaca dari penganggaran selama tiga tahun terakhir, diakui belum begitu berpihak terhadap warga kecil.

“Bahkan di awal tahun ini, anggaran kesehatan warga miskin kan sempat tertutup melalui Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Akhirnya ada solusi setelah itu mencuat,” cerita Dede.

Dia menuturkan sudah berulangkali menyampaikan supaya eksekutif konsen terkait persoalan sosial yang diantaranya kemiskinan. Melihat rapor merah secara kumulatif dari seluruh daerah se-Jawa Barat, Kota Resik masih berada di urutan fantastis dibanding daerah lain.

“Nah kemarin pun dalam diskusi Kepala Bappelitbangda tidak bisa membantah, bahwa intervensi pemerintah selama ini kan belum terasa,” tuturnya.

Dede mencontohkan belanja perlindungan sosial yang dialokasikan di Dinas Sosial Kota Tasikmalaya saja, di tahun ini hanya sekitar Rp 2 miliar. Itu pun tidak khusus menangani si miskin, melainkan inklud dengan persoalan kesejahteraan sosial lainnya, seperti disabilitas, dan lain sebagainya. “Jadi urusan si miskin ini paling minim anggarannya, dibanding kebutuhan fisik atau infrastruktur lain,” ujarnya. (igi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: