Panmud Hukum Pengadilan Agama Kota Tasikmalaya Yayah Yulianti menyebutkan tahun 2019 tercatat ada 73 pengajuan dispensasi kawin. Sementara tahun 2020, ada 248 pengajuan dispensasi.
“Untuk tahun 2020 ada empat pengajuan ditolak, selebihnya (244) dikabulkan,” ujarnya kepada Radar, Senin (8/3/2021).
Menurut dia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, diatur bahwa batas usia menikah baik laki-laki maupun perempuan yakni 19 tahun. Untuk calon pengantin yang masih di bawah usia itu, harus mengajukan dispensasi ke Pengadilan Agama.
Dia menjelaskan terdapat beberapa faktor memengaruhi diska. Seperti regulasi, tingkat pendidikan rendah kemiskinan tinggi dan faktor ekonomi akibat pandemi Covid-19. ”Itu baru prediksi kami, karena Pengadilan hanya menjalankan regulasi,” ujarnya.
Baca juga : Puluhan Nakes Kota Tasik Belum Divaksin
Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Indihiang, Kota Tasikmalaya Husna Mustofa mengatakan peningkatan angka pernikahan dini di bawah batasan usia memang ada. Biasanya, terjadi karena beberapa faktor yang menjadi pendorong. “Ada keluarga yang memang kepercayaannya lebih baik menikah selagi masih muda,” ujarnya.
Selain itu, ada juga efek kekhawatiran orang tua melihat pergaulan remaja saat ini. Sehingga menikahkan anak di usia dini menjadi pilihan yang dianggap lebih baik. “Karena tidak sedikit orang tua yang khawatir anaknya berzinah, jadi lebih baik dinikahkan,” katanya.
Soal peningkatan, sambung Husna, apakah ada kaitannya dengan situasi pandemi Covid-19 di kota berjuluk Kota Santri ini? Menurutnya, bisa jadi akibat pola hidup masyarakat dari mulai anak, dewasa sampai lansia berubah secara drastis. “Tetapi sepanjang maksudnya baik, tentu KUA tetap mengakomodir,” terangnya.
Namun peningkatan tersebut, lanjut Husna, dipengaruhi juga oleh perubahan regulasi. Karena sebelumnya keluar Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Batasan Usia Perempuan untuk Menikah adalah 16 tahun. “Sebelumnya kan usia 16 sampai 18 tahun, tidak perlu dispensasi, sekarang harus mengajukan dulu,” katanya.
Terpisah, Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPAD) Eki S Baehaqi mengatakan pernikahan di bawah umur cukup berisiko. Undang-undang menetapkan batasan 19 tahun tentu karena pertimbangan yang matang. “Meskipun ada proses dispensasi, idealnya pernikahan dini dihindari,” ujarnya.
Untuk orang yang punya mental dan kekuatan ekonomi cukup mungkin tidak begitu masalah. Namun, menurutnya hanya segelintir saja yang siap akan hal tersebut. “Dari segi emosional dan psikologis juga masih terbilang rentan,” kata dia.
Dikhawatirkan, kata Eki, pernikahan dini menimbulkan masalah lebih besar di kemudian hari. Selain keretakan rumah tangga, potensi yang mengarah kepada perbuatan pidana pun cukup besar. “Bisa perbuatan kriminal karena desakan ekonomi, atau kekerasan rumah tangga karena emosi,” kata dia menegaskan.
KONDISI EKONOMI
Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menambahkan, bahwa meningkatnya siswa putus sekolah dan pernikahan saat pandemi karena mereka lebih memilih bekerja membantu perekonomian keluarga.
“Dalam kondisi sekarang ini sebagian keluarga kehilangan pekerjaan, sehingga anak memilih bekerja atau dikawinkan. Dari temuan KPAI, ada 119 peserta didik yang menikah, laki-laki maupun perempuan, yang usianya beriksar 15-18 tahun,” kata Retno.
Hal itu diketahui, kata Retno, ketika pihak sekolah berkunjungan ke rumah keluarga karena siswa tidak menghadiri pembelajaran jarak jauh dan tidak pernah mengumpulkan tugas.
“Saat didatangi, pihak sekolah baru tahu bahwa siswa yang bersangkutan akan dikawinkan sudah dikawinkan, atau sudah bekerja,” terangnya.
Selain itu, kata Retno, potensi putus sekolah bukan hanya dipengaruhi kondisi ekonomi keluarga. Melainkan juga, para pelajar tidak memiliki alat daring atau gawai guna mendukung Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
“Kalau pun memiliki gawai, para pelajar tidak memiliki kemampuan membeli kuota internet. Dan akhirnya, ada yang memutuskan bekerja dan menikah,” ungkapnya.
Sementara itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pun mengakui, jika pendidikan jarak jauh (PJJ) memberi dampak negatif pada siswa. Mulai dari ancaman putus sekolah, untuk bekerja membantu keuangan keluarga hingga ke jenjang pernikahan.
“Pelaksanaan PJJ membuat orang tua memiliki persepsi tidak bisa melihat peranan sekolah dalam proses belajar-mengajar apabila pembelajaran tidak dilakukan secara tatap muka,” kata Direktur Jenderal PAUD Dikdasmen, Jumeri
Dampak berikutnya, kata Jumeri, adalah kendala tumbuh kembang, yang mana terjadi kesenjangan capaian belajar. "Perbedaan akses dan kualitas selama pembelajaran jarak jauh juga dapat mengakibatkan kesenjangan capaian belajar, terutama untuk anak dari sosio ekonomi berbeda,” jelas dia.
“Kemudian, akan terjadi risiko kehilangan pembelajaran yang terjadi secara berkepanjangan dan menghambat tumbuh kembang anak secara optimal,” ujarnya.
Dampak selanjutnya, adalah tekanan psikososial dan kekerasan dalam rumah tangga yang mana mengakibatkan anak stres akibat minimnya interaksi dengan guru, teman dan lingkungan luar, ditambah tekanan akibat sulitnya pembelajaran jarak jauh yang menyebabkan stres pada anak.
“Juga kasus kekerasan banyak yang tidak terdeteksi, tanpa sekolah banyak anak terjebak pada kekerasan di rumah tanpa terdeteksi oleh guru,” tuturnya.
Untuk itu, lanjut Jumeri, pihaknya sudah memberikan pedoman belajar dari rumah (BDR) di masa pandemi. Hal itu dilakukan Kemendikbud untuk mengantisipasi minat belajar anak menjadi turun saat pandemi dan mencegah bertambahnya kasus pernikahan di tingkat pelajar, khususnya SMA.
“Namun, kata dia, agar implementasi pedoman belajar dari rumah ini berjalan efektif dibutuhkan kerjasama keluarga, masyarakat, guru, dan pemerintah daerah.
“Dengan begitu, angka kasus pernikahan di tingkat SMA ini tak lagi bertambah di masa pandemi Covid-19 yang membuat siswa harus belajar dari rumah,” ujarnya.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) meminta satuan pendidikan memiliki andil penting dalam memberikan pendampingan, pengawasan dan pemahaman terkait pendidikan kesehatan reproduksi dan kesetaraan gender. Hal ini untuk menghindari pernikahan diani atau anak usia pelajar
Berdasarkan data Susenas 2018, perempuan yang menikah sebelum 18 tahun empat kali lebih kecil dalam menyelesaikan pendidikan SMA ke atas, dibandingkan dengan yang menikah 18 tahun atau lebih. Perempuan sebelum 18 tahun paling banyak hanya menyelesaikan pendidikan SMP sederajat, yakni 45 persen.
”Satuan Pendidikan, terdiri Sekolah Ramah Anak dan Madrasah Ramah Anak harus turut berperan mencegah terjadinya perkawinan anak. Jika perkawinan anak tidak terjadi, maka wajar 12 tahun akan terpenuhi karena anak-anak tidak putus sekolah,” kata Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak, Lenny N Rosalin di Jakarta, Senin (22/2/2021).
Menurut Lenny, dalam mencegah perkawinan anak, pendidikan kesehatan reproduksi dan kesetaraan gender di satuan pendidikan menjadi sangat penting dilakukan.
”Sebab, berdasarkan Riskedas 2018, sebesar 5,3 persen anak usia sekolah dan remaja pernah melakukan hubungan seksual pra nikah,” ujarnya.
(rga/der/fin).