JAKARTA — Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) terus mendorong dilakukan revisi terhafap Undang-Undang Pemilu.
Salah satunya menurunkan ketentuan presidential
threshold atau ambang batas calon presiden (capres).
PKS beralasan penurunan
itu demi mencegah politik identitas, mengingat ambang batas capres saat ini
relatif tinggi.
Ketua DPP PKS Mardani
Ali Sera menjelaskan, berkaca dari pengalaman pemilu 2014 dan 2019 lalu, pelaksanaan
pesta demokrasi pemilihan kepala negara hanya diisi oleh dua calon presiden dan
wakilnya.
Menurutnya, hal
tersebut akan berdampak buruk bagi proses demokrasi. Termasuk kesatuan dan
persatuan, sehingga ada pembelahan sosial. Mardani menyebut, pihaknya ingin
ambang batas capres jadi 10 persen kursi DPR atau 15 persen suara secara
nasional.
Ia menilai makin
banyak calon presiden, makin tinggi juga kemungkinan politik identitas
tertutupi. “Karena itu, PKS tegas menurunkan usulannya agar threshold untuk
presiden itu 10 persen kursi DPR atau 15 persen suara sehingga ada banyak
calonnya, ada kontestasi karya gagasan tidak ada lagi pembelahan ataupun
politik identitas,” sebut Mardani.
Soal pilkada, PKS juga
menolak pilkada disatukan dengan pileg dan pilpres karena menurut mereka banyak
mudaratnya, salah satunya party identification, atau ukuran kedekatan
masyarakat dengan partai yang akan dipilih, yang dinilai masih rendah.
Mardani
memberi solusi. “Lebih baik dibagi tiap tiga tahun. Ada pemilu
nasional, ada pemilu buat provinsi ada pemilu buat kabupaten/kota,” sebut
Mardani Ali Sera.
Sementara itu, Ketua
Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas mengatakan, jika kemungkinan
terbesar, RUU Pemilu yang saat ini sudah masuk dalam Prolegnas 2021, bisa
dikeluarkan.
“Sekarang RUU Pemilu
masih masuk prolegnas. Walaupun belum ditetapkan dalam paripurna DPR.
Berdasarkan hasil komunikasi kami dengan fraksi-fraksi, kemungkinan besar RUU
Pemilu akan di-drop dari prolegnas,” kata Supratman.
Ia melanjutkan, jika
partainya, Gerindra termasuk dari barisan yang menolak untuk melanjutkan
pembahasan RUU Pemilu. Hal ini sependapat dengan pemerintah yang secara tegas menolak
untuk merivisi.
“Gerindra sependapat
dengan Presiden Jokowi. UU Pemilu yang kita hasilkan 2017, kita jalankan dulu.
Kalau ada hal kurang, nanti kita sempurnakan. Ini soal hitungan-hitungan
partai. Strategi partai dalam hadapi Pemilu 2024,” kata Supratman.
Menurutnya, ada
beberapa hal menarik. Misalnya saja presidential threshold. Kemudian, adanya
kekhawatiran partai menengah ke bawah apabila ambang batas partai lolos ke
parlemen atau parliamentary threshold (PT) dinaikkan.
RUU Pemilu, juga
dianggap masih berpeluang untuk dibahas. Hanya saja, soal Pilkada Serentak 2022
dan 2023, dipisahkan dari pembahasan RUU Pemilu.
Menurutnya, saat ini
pembahasan terkait RUU Pemilu masih menjadi perbincangan menarik.
Keputusan fraksi dalam
menentukan sikap, nantinya juga akan berpengaruh. Apakah akan dilanjutkan
dibahas atau tidak. (fin/red)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News