Ditopang Kebangkitan Sektor UMKM, BRI Optimistis Hadapi Tantangan Ekonomi 2022

Ditopang Kebangkitan Sektor UMKM, BRI Optimistis Hadapi Tantangan Ekonomi 2022

Radartasik.com, JAKARTA — Setelah dua tahun lebih terkena dampak akibat pandemi Covid-19, para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia mulai semakin menunjukan tanda-tanda perbaikan kondisi bisnis atau usahanya. 

Kebangkitan UMKM ini sekaligus merefleksikan kuatnya pemulihan ekonomi Indonesia yang saat ini dipercaya menjadi Presidensi G20. Tak hanya itu, kebangkitan UMKM ini pun menjadi angin segar bagi pertumbuhan bisnis PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. 

Apalagi dari tiga Indeks Bisnis UMKM BRI diketahui kondisi UMKM saat ini telah mencapai level optimistis dengan skor melebihi 100 pada kuartal IV-2021.  

Pertama, indeks bisnis UMKM secara mikro yang mengukur volume produksi, total nilai penjualan, rata-rata harga jual, volume pesanan, volume pemesanan barang input, volume persediaan barang jadi, rata-rata jumlah karyawan, hingga realisasi investasi mendapat hasil yang memuaskan.

Kedua, indeks sentimen bisnis UMKM yang menggali skor terhadap kondisi ekonomi makro. Dari hasil indeks tersebut, pelaku UMKM menyatakan kondisi perekonomian nasional hingga kondisi usaha telah mengalami perbaikan. Kemudian ketiga, penilaian pelaku UMKM terhadap kinerja pemerintah dalam penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi.

“Ternyata data ketiga indeks tersebut menunjukkan optimisme. Indeks kepercayaan pelaku UMKM terhadap pemerintah masih sangat baik. Artinya sangat percaya terhadap kemampuan pemerintah mengelola berbagai tantangan perekonomian nasional. Maka itulah yang menjadikan bahwa BRI untuk menghadapi 2022 itu optimis,” kata Direktur Utama BRI Sunarso, dalam acara BRI Microfinance Outlook 2022 belum lama ini.

Dengan kokohnya sektor UMKM tersebut, Sunarso yakin BRI dapat melalui tantangan ekonomi pada tahun 2022 ini dengan kinerja mengesankan. Sunarso pun lantas menceritakan, kondisi Indonesia saat ini yang digempur tantangan ekonomi, baik yang datang dari luar maupun negeri.

Di luar negeri misalnya, Sunarso menyebut arah kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) dapat memiliki implikasi bagi perekonomian di Indonesia. Pasalnya, keputusan Bank Sentral AS, The Fed, dalam melakukan tapering off serta potensi kenaikan suku bunga acuannya bisa menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan dan arus investasi. Hal itu bisa terjadi sebagai efek dari gejolak pergerakan kurs dollar AS. 

Kemudian juga arah kebijakan moneter AS itu juga dapat memantik Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter tertinggi di dalam negeri untuk meningkatkan BI-rate. Langkah BI dalam mengerek suku bunga acuannya bisa memberikan tekanan bagi bisnis perbankan.

Dua tantangan tersebut, lanjut Sunarso, telah dipetakan dengan penuh pertimbangan oleh perseroan. Membaiknya demand side menjadikan BRI optimistis tetap optimal melakukan ekspansi kredit. 

“Situasi yang sebenarnya bisa saya katakan masih optimistis, bahwa kami akan bisa tumbuh secara sustain,” ujar Sunarso.

Pada tahun ini, BRI sendiri menargetkan pertumbuhan kredit di kisaran 9%-11% year on year (yoy). Sedangkan  dari sisi manajemen risiko, BRI berupaya untuk menjaga rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) di level 2,8%-3%. 

“Profitabilitas coba didongkrak dengan mematok target Net Interest Margin (NIM) 7,6%-7,8%, dibarengi dengan efisiensi cost of credit di kisaran 2,8%-3%,” pumgkasnya . (rls/red)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: