Ternyata Sisa Makanan Andil Mempercepat Pemanasan Global

Ternyata Sisa Makanan Andil Mempercepat Pemanasan Global

Radartasik.com - Bagi yang sering menyisakan makanan serta tumpukan sampah atau limbah, harus mulai berpikir dan bertindak lebih bijak. Sebab, menyisakan makanan juga turut andil mempercepat terjadinya pemanasan global.

Dilansir dari radarbali.id, hal ini terungkap dalam webinar dengan topik "Berkah Food Waste dan Upaya Mendukung Ekowisata" yang digelar Fakultas Pertanian, Universitas Warmadewa pada Sabtu (22/01).

Dalam webinar disebutkan, akumulasi limbah makanan di Tempat Pengolahan Sampah (TPS) di Denpasar dianggap cukup banyak. Jumlahnya berkisar antara 115 kilogram-184,67 kilogram/TPS/hari. Bila tak dikelola, limbah makanan ini turut mempercepat pemanasan global.

Data tersebut merupakan hasil penelitian yang dilakukan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali selama periode Januari-Mei 2021.

Jumlah akumulasi tertinggi terjadi di Kecamatan Denpasar Barat sebanyak 184,67 kilogram/TPS/hari. Yang terendah terjadi di Kecamatan Denpasar Timur sebanyak 115 kilogram/TPS/hari. 

"Jumlah akumulasi limbah makanan dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari kepadatan penduduk, pola konsumsi, umur, pengetahuan hingga frekuensi makan dalam sehari. Jumlah anggota keluarga juga berpengarug signifikan," kata akademisi Fakultas Pertanian, Universitas Warmadewa, I Nengah Muliarta, yang juga terlibat dalam analisis hasil penelitian food waste yang dilakukan PPLH Bali.

Muliarta mengungkapkan era digital saat ini menyebabkan pola pembelian makanan memberi kontribusi terhadap jumlah limbah makanan yang dihasilkan.

Semakin besar rata-rata pengeluaran untuk membeli bahan makanan pada satu waktu, semakin besar kemungkinan menghasilkan lebih banyak limbah makanan. 

Limbah makanan tidak hanya berdampak buruk pada lingkungan, tetapi juga “memainkan peran utama” dalam menciptakan kerugian ekonomi dan masalah sosial yang tidak perlu. 

Dampak ekonomi yang besar dari membuang makanan memengaruhi semua individu dan organisasi yang terlibat dalam rantai penyediaan makanan. 

Apalagi fenomena di negara maju, makanan dipandang sebagai komoditas sekali pakai. Dampaknya sekitar sepertiga atau setengah dari semua makanan yang diproduksi untuk konsumsi manusia secara global diperkirakan akan terbuang percuma.

"Contoh kasus dalam sebuah penelitian tahun 2011 di Inggris, kontribusi terbesar untuk limbah makanan berasal dari rumah sebesar 8,3 juta ton per tahun, merugikan konsumen sebesar A£12 miliar dan menyumbang 3 persen dari emisi gas rumah kaca Inggris," jelasnya. 

Menurut Muliarta, praktek buruk pembuangan limbah makanan berdampak pada lingkungan berupa emisi gas rumah kaca, lindi, dan bau. Tumpukan limbah makanan akan menghasilkan gas metana yang memiliki potensi pemanasan global 25 kali lebih besar daripada karbon dioksida dalam 100 tahun. 

"Umumnya alasan rumah tangga tidak melakukan pemilahan sampah adalah terlalu malas, memiliki kesenjangan pengetahuan dan kurangnya fasilitas. Ini masalah klasik," kata pria yang sempat menjadi Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Bali periode 2014-2017 ini.

Muliarta menyebutkan frekuensi makan berpengaruh cukup signifikan terhadap produksi limbah makanan. Dalam survei di kawasan Saridewi, Denpasar Utara yang telah menerapkan konsep zero waste sejak tahun 2020 terungkap bahwa 76,40 persen warga Saridewi memiliki frekuensi makan 3-4 kali dalam sehari.

Upaya mengurangi limbah makanan, sambil mempertahankan tingkat produksi dapat membantu memenuhi kebutuhan pangan global. Artinya langkah mengurangi limbah makanan di satu wilayah dapat menyebabkan ketersediaan makanan yang lebih banyak  di tempat lain.

Ia menambahkan khusus untuk kawasan Saridewi, berdasarkan hasil penimbangan limbah makanan terungkap produksi limbah makanan yang dihasilkan oleh satu orang dalam satu hari mencapai 0,14 kilogram.

Jumlah limbah makanan ini merupakan hasil dari proses penerapan zero waste selama satu tahun terakhir. Jika tanpa menerapkan konsep zero waste, potensi limbah makanan di kawasan Saridewi diduga lebih tinggi. 

Sementara Dekan Fakultas Pertanian, Universitas Warmadewa  Dewa Nyoman Sadguna mengungkapkan pemahaman dan penularan berbagai metode dan strategi yang kreatif dan inovatif penting dilakukan untuk memenuhi tuntutan ilmu pengetahuan dan kesejahteraan masyarakat.

Pengelolaan limbah secara kreatif menjadi penting sebagai upaya mendukung pengembangan ekowisata. 

"Ini penting sehingga mampu mewujudkan kegiatan ekowisata yang produktif serta berkelanjutan" tegas Sadguna. (radarbali.id/try)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: