Pakar Psikologi Forensik Ini Sebut Polisi Gegabah Karena Beber Motif Pelaku Lakukan Mutilasi Korban

Pakar Psikologi Forensik Ini Sebut Polisi Gegabah Karena Beber Motif Pelaku Lakukan Mutilasi Korban

Radartasik.com, JAKARTA - Pakar psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menilai Polda Metro Jaya telah gegabah karena membeberkan motif tersangka FR (20) dan MAP (29) membunuh dan memutilasi driver ojol berinisial RS, di Bekasi, Jawa Barat. 

Sebelumnya, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Endra Zulpan menyebut pelaku mutilasi yang berinisial FM sakit hati kepada korban lantaran pelaku dan istrinya dihina RS. Sementara itu, MAP sakit hati kepada RS yang pernah mencabuli istrinya. 

"Kenapa, ya, pelaku diberikan ruang untuk mengekspos motifnya ke media dan publik?" kata Reza kepada JPNN.com, Minggu (28/11/2021). 

Menurut Reza, sadar atau tidak, dengan membeberkan motif itu maka akan terbangun peluang bagi pelaku untuk lolos dari hukuman ataupun memperoleh keringanan hukuman. "Sementara, terhadap kekejian sedemikian rupa, sebagaimana dalam kasus-kasus sejenisnya pada waktu lampau, publik berharap pelaku dihukum seberat-beratnya," ucap Reza Indragiri. 

Pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK/PTIK) menilai tindakan pelaku memang kejam, tetapi dia membayangkan kekejaman itu dilakukan setelah pelaku dihina-dina dan istrinya dicabuli. "Sangat mungkin, kalau peristiwa itu benar-benar terjadi, pelaku merasakan tekanan batin dan gelegak amarah sedemikian hebat," lanjut peraih gelar sarjana psikologi di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu.

Tekanan batin yang demikian menurut Reza, bisa disetarakan dengan guncangan jiwa yang luar biasa hebat sebagaimana Pasal 49 Ayat 2 KUHP. Pasal itu berbunyi; "Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu tidak dipidana'. "Dan, jika hakim teryakinkan, maka bisa saja hakim memutuskan bahwa pelaku tidak dipidana," sambungnya. 

Peraih gelar MCrim (Forpsych-master psikologi forensik) dari Universitas of Melbourne Australia itu menyebut perlu dilakukan pengecekan, kapan pencabulan dan penghinaan itu berlangsung. "Jika jarak waktunya jauh, maka agak sulit meyakinkan hakim dengan klaim guncangan jiwa nan hebat itu," sebut Reza. 


Dia menjelaskan klaim tersebut bersinonim dengan extreme emotional disturbance defense (EEDD). Begini Syarat agar EEDD itu bisa dikabulkan hakim antara lain, pertama, aksi pelaku sepenuhnya karena dipantik oleh faktor eksternal yang dilancarkan oleh orang yang kemudian dihabisi.

Kedua, tidak ada jarak waktu atau pun sangat singkat jarak waktu antara peristiwa yang memprovokasi (hinaan, pencabulan) dan aksi pembunuhan. 

Reza mengatakan di beberapa yurisdiksi, kalau terdakwa berhasil meyakinkan persidangan, maka dia divonis bersalah karena melakukan penganiayaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia (manslaughter), bukan karena melakukan pembunuhan (murder). 

Untuk kasus mutilasi di Bekasi, Reza masih punya sejumlah pertanyaan, antara lain, mengapa harus sampai memutilasi? "Apakah itu episode berikutnya dari ekspresi amarah yang tidak mereda hanya dengan menghabisi korban (emosional)? Ataukah itu cara untuk menghilangkan barang bukti (instrumental)?" pungkas Reza Indragiri. (fat/jpnn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: