Menyulap Limbah Kelapa Jadi Sumber Devisa

Menyulap Limbah Kelapa Jadi Sumber Devisa

radartasik.com, PANGANDARAN - Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) go global kini diandalkan jadi lokomotif pemulihan ekonomi nasional (PEN) di tengah pandemi Covid-19.


Salah satu UMKM yang masih menjalankan kegiatan ekspornya di tengah pandemi yakni Koperasi Produsen Mitra Kelapa (KPMK) Pangandaran. Hal itu tentu mendorong optimisme dunia usaha ke arah yang positif.  

Pada Jumat (5/11/2021) UMKM binaan Bank Indonesia Tasikmalaya tersebut mengekspor 1 kontainer cocopeat dan cocofiber (produk limbah sabut kelapa) ke Cina. Di 2021, total sudah 33 kontainer yang diekspor KPMK Pangandaran ke Cina dan Jepang. 

Ketua KPMK Pangandaran Yohan Wijaya Nurahmat (38)  mengatakan, semangat pemberdayaan ekonomi bisa digali ketika kita jeli melihat potensi yang ada di sekitar atau lingkungan terdekat. Bahkan limbah bisa disulap menjadi pundi rupiah dan sumber devisa negara.

 “Pangandaran kaya akan potensi alam. Selain pantainya yang indah, Pangandaran juga surganya pohon kelapa,” katanya kepada Radar, Kamis (11/11/2021).

Luas perkebunan kelapa di Pangandaran lebih dari 33.400 hektare. Kapasitas produksinya sekitar 1 juta butir per hari. Seluruh bagian kelapa ini menjadi sumber rupiah bagi masyarakat. Bahkan limbah sabut kelapanya kini jadi bahan baku produk ekspor.

Yohan menggerakkan masyarakat desanya untuk mengolah limbah sabut kelapa tersebut di bawah bendera KPMK Pangandaran di Desa Cintakarya Kecamatan Parigi Kabupaten Pangandaran.

Dia sukses mengolah limbah sabut kelapa, yang diubahnya menjadi dua produk unggulan yakni cocopeat dan cocofiber.  Cocopeat biasa digunakan sebagai media tanam tanaman organik, sedangkan cocofiber merupakan produk olahan serat tapas kelapa. Cocofiber digunakan industri otomotif part untuk bahan bantalan jok mobil, belt lading, peredam, pengganti kom hingga pembuatan matras, tali, kasur, sofa di beberapa perusahaan Tiongkok Cina dan Jepang.

“Awal mula terbesit keinginan mengolah sabut kelapa saat melihat banyaknya limbah sabut kelapa di kampung saya yang tidak dimanfaatkan,” katanya.

Di tahun 2016 cocopeat ini awalnya dinyatakan sebagai limbah yang meresahkan lingkungan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Pangandaran. “Awalnya kami juga mengolah kelapanya. Sabutnya ini menjadi limbah yang lama-lama menumpuk, biasanya kami bakar limbah tersebut,” katanya.

Ia pun berpikir keras untuk memanfaatkan limbah tersebut menjadi sesuatu yang bernilai jual. Barulah pada 2017 Yohan mulai mengolah sabut kelapa menjadi cocopeat dan cocofiber yang memang sangat dibutuhkan oleh industri di luar negeri.

Yohan mengatakan, potensi pasar limbah sabut kelapa ini sangat besar. Negara-negara seperti Cina dan Jepang yang kondisi alamnya kurang subur dan lahan tanahnya sudah sempit membutuhkan cocopeat sebagai media tanam pengganti tanah. Cocopeat ini memiliki daya serap air tinggi dan dapat menyimpan air dalam jumlah banyak. Begitupun cocofiber dibutuhkan untuk diolah menjadi tali, door-mate dan produk penunjang industri otomotif.

“Potensi ekspor sabut kelapa ini sangat besar, kebutuhannya 1.000 kontainer per tahun. Dari total permintaan pasar, baru 5 sampai 10 persen saja yang terpenuhi,” ujarnya.

Ia mengatakan, misi utama dirinya mengembangkan industri pengolahan sabut kelapa yaitu meningkatkan perekonomian masyarakat Desa Cintakarya Parigi Kabupaten Pangandaran.

“Banyak pemuda yang mencari pekerjaan ke luar daerah, padahal di desa kami punya potensi yang luar biasa dari sumber daya alam kelapa,” katanya. Makanya ia ingin meningkatkan nilai jual dari kelapa ini sehingga bisa menjadi sumber penghasilan masyarakat desa, pada akhirnya para pemuda tak perlu keluar daerah untuk mencari pekerjaan.

DIBINA BI, KAPASITAS PRODUKSI MENINGKAT

KPMK Pangandaran kini menjadi eksportir sabut kelapa terbesar di Jawa Barat. Pencapaian itu diraih berkat kerja keras Yohan dan tim, dukungan pemerintah daerah dan pendampingan dari Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) Tasikmalaya.

Tahun 2019 BI memberikan bantuan dan pendampingan yang komprehensif. Bantuan fisik berupa mesin, sarana produksi, peralatan pendukung dan lain-lain.

Selain itu diberikan pendampingan akuntan publik khusus untuk mengajarkan KPMK Pangandaran cara membuat laporan keuangan yang baik dan benar. Dengan administrasi yang rapi ini, akses pembiayaan ke lembaga keuangan lebih terbuka.

BI juga memberikan pendampingan ekspor. KPMK Pangandaran diikutkan  pameran Trade Expo Indonesia (TEI) dan Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) sehingga bisa dipertemukan dengan jejaring luar negeri.

Setelah diberikan pendampingan oleh Bank Indonesia, KPMK Pangandaran semakin matang, mandiri dan punya jejaring pemasaran yang luas. Catatan keuangan pun jadi lebih rapi, benar dan asset pun tercatat dengan baik.

Selain itu, kapasitas produksi pun meningkat. Tahun 2018 kapasitas produksi KPMK Pangandaran 24 kontainer. Di tahun 2019 setelah adanya pendampingan dari Bank Indonesia, kapasitas produksi naik menjadi 50 kontainer. Semua hasil produksi tersebut 100 persen diserap pasar Cina dan Jepang.

Di 2020 produksi cocopeat cocofiber tetap berjalan meski di tengah pandemi Covid-19. Pengiriman barang memang sempat tertunda beberapa bulan akibat lockdown, tapi hingga akhir 2020 KPMK Pangandaran bisa merealisasikan ekspor sebanyak 65 kontainer.

Di tahun 2021 ini memang menurun menjadi 33 kontainer. Hal ini karena terkendala cuaca hujan sehingga proses penjemuran terhambat “Dengan adanya pendampingan dari BI kami lebih percaya diri dan optimis bisa terus maju meningkatkan kemampuan ekspor, bahkan kita berencana merambah ke pasar negara lainnya seperti Jerman dan Israel,” ujarnya.

Yohan merasa lega karena sabut kelapa yang semula adalah limbah kini menjadi sumber usaha baru yang mampu menyerap ribuan tenaga kerja. Kini banyak masyarakat Pangandaran yang ikut menggarap usaha sabut kelapa untuk pasar lokal. “Awalnya sabut kelapa ini sampingan, kini menjadi core bisnis kami,” katanya. (na)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: