Begini Cerita Bambu Runcing Menang Lawan Tank di Pertempuran 10 November

Begini Cerita Bambu Runcing Menang Lawan Tank di Pertempuran 10 November

Radartasik.com — Strategi gerilya menjadi salah satu faktor utama kemenangan Indonesia melawan sekutu pada pertempuran 10 November. Kesiapan perang Sekutu dan Belanda sangat mumpuni bila dibandingkan dengan pejuang Indonesia.

Menurut Probo Darono Yakti, dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jatim (UPN) Surabaya, faktor kemenangan Indonesia salah satunya didorong oleh doktrin keamanan Indonesia, yakni hankamrata. Salah satu strategi yang diterapkan adalah perang gerilya.

”Indonesia baru merdeka beberapa bulan. Sementara sumber daya, resource itu masih sangat terbatas. Jadi dalam kondisi yang sangat terpepet, senjata seadanya, mulai dari bambu runcing, senjata api rampasan dari Jepang. Jadi berdasar keterbatasan sumber daya itu, akhirnya strategi hack the system dengan perang gerilya,” tutur Probo pada Rabu (10/11).

Strategi itu disempurnakan dengan gerakan grass root jadi kuncinya. Dalam pertempuran 10 November di Surabaya, pemuda yang bertempur bukan hanya datang dari Surabaya. Namun dari berbagai wilayah di area Surabaya.

”Ada yang dari Sidoarjo. Ada juga tempat yang jadi konsentrasi massa. Dari Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, massa itu kan makin terkonsentrasi ke Surabaya. Menggempur sekutu yang diboncengi Belanda,” tutur lulusan Universitas Airlangga jurusan Hubugnan Internasional itu.

Probo menilai, value utama dari kemenagnan dan pertempuran 10 November adalah bondo nekat atau bonek. Sebab, untuk melawan sekutu dengan tank baja dan senjata yang jauh lebih canggih, pejuang Surabaya hanya berbekal alat seadanya atau membonek.

”Senjata sekutu ada tank baja dan lain sebagainya. Kita itu cuma bondo nekat. Value utamanya, dalam kondisi terdesak, gerakan massa dari berbagai suku, agama, ras, itu punya 1 visi yang sama. Semangatnya 17 Agustus 1945. Konsentrasinya di situ,” terang Probo.

Semangat pejuang kemudian terus disulut pahlawan-pahlawan seperti Residen Soedirman, Roeslan Abdul Ghani, KH Hasyim Asy'ari. Peran tokoh ini adalah memperkuat basis massa. Mereka bisa menggemakan semangat dan gelora.

”Ada 300 ribu pemuda yang tewas di depan Jalan Pahlawan. Di Tugu Pahlawan kan ada makan pahlawan yang tidak dikenal. Secara saintifik, perang gerilya,” tegas Probo.

Menurut sosok yang baru saja meluncurkan buku bertajuk Poros Maritim Dunia, itu pertempuran 10 November merupakan awal implementasi strategi gerilya. Secara konseptual, sebelum kemerdekaan, belum ada strategi gerilya secara nyata.

”Kalau dulu, sebelum merdeka, itu kan belum ada yang bisa mengatakan Pangeran Diponegoro berjuang demi Indonesia. Dulu kan negara belum terbentuk. Kepentingannya untuk mengusir Belanda. Setelah merdeka, kepentingan atau interest ya untuk Indonesia. Penggunaan grass root, senjata rampasan atau tradisional seperti busur dan panah, sama semua. Setelah merdeka, semua berupaya untuk Indonesia tidak dijajah dan bisa berdiri secara merdeka,” ucap Probo. (jpg)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: