Ini Tipe-Tipe Orang yang Gampang Jadi Korban Penipuan Siber
Radartasik.com — Ada banyak cara yang
dilakukan oleh para penipu siber untuk menjebak korban sehingga akun dan kata
kunci mereka diretas dan menyebabkan kerugian. Penipu akan memanfaatkan
celah-celah yang ada untuk menjebak korban.
Konsultan keamanan siber Teguh Aprianto mengemukakan pengguna yang tidak
teliti, gagap teknologi serta sedang teralihkan perhatiannya rentan untuk
menjadi korban penipuan siber. Itulah mengapa sebetulnya orang yang betul-betul
melek soal keamanan digital juga bisa menjadi korban bila konsentrasinya sedang
terpecah. “Pengguna yang selalu mengecek
kembali dan bisa mendeteksi penipuan akan lebih aman dari celah penipuan,”
katanya dalam konferensi pers daring, Kamis (28/10). Pendiri Ethical Hacker ini
menjelaskan cara-cara yang dilakukan penipu untuk merampas akun korban. Cara
pertama adalah phising di mana korban dijebak dengan menggunakan halaman login
palsu yang dibuat mirip dengan halaman login asli. Pengguna yang tidak teliti
dan mengisi data di halaman palsu tersebut bisa jadi korban karena data penting
itu sebetulnya dimanfaatkan oleh penipu. Kedua, rekayasa sosial (social
engineering) di mana korban dimanipulasi agar tanpa disadari mengikuti
keinginan pelaku atau memberikan apa yang diminta pelaku. Penipu akan menghubungi
korban melalui telepon dan berpura-pura sebagai oknum yang harus meminta data
pribadi secara detail, termasuk nomor OTP (One Time Pasword). Selanjutnya adalah menebak-nebak kata
kunci korban. Cara ini bisa dilakukan secara manual atau lewat alat yang dibuat
khusus untuk menebak kata kunci. Korban dari teknik ini adalah orang-orang yang
kata kuncinya lemah sehingga rentan untuk diretas. Itulah mengapa, Anda harus
hati-hati dalam memilih kata kunci agar aman dan tidak mudah ditebak. Mendapatkan data korban adalah hal
krusial yang dilakukan penipu untuk beraksi. Penipu bisa mendapatkan data
korban lewat beberapa cara, seperti open source intelligence (OSINT) di mana
mereka mencari data lewat sumber-sumber yang ada di Internet, termasuk media
sosial. Cara kedua adalah lewat teknik
rekayasa sosial yang kerap disebut hipnotis karena korban secara tidak sadar
terjebak manipulasi pelaku dan secara sukarela memberikan data-data pribadi
yang kemudian disalahgunakan. Bermodalkan nama lengkap dan nomor telepon,
pelaku bisa berpura-pura menjadi petugas bank yang meminta data-data pribadi
seperti kata kunci dan OTP kepada korban. Setelah data krusial didapatkan, akun
korban bisa dengan mudah diretas dan diambil alih. Data pribadi juga bisa didapatkan
pelaku bila data korban ada dalam database yang bocor. Jika data Anda termasuk
data yang bocor, akan lebih mudah bagi pelaku untuk melakukan penipuan. “Kalau
dulu mereka random saja menelepon, hanya ganti-ganti nomor telepon paling
belakang,” katanya.
Kasus-kasus penipuan bisa terjadi
lewat berbagai medium, seperti via telepon lewat modus “Mama minta pulsa”
dimana seseorang berpura-pura menjadi ibu korban dan meminta kiriman pulsa,
kemudian via percakapan WhatsApp, lewat Twitter yang bisa terjadi ketika
pengguna yang mengajukan keluhan kepada customer service sebuah institusi
mendapat balasan dari akun yang mirip seperti customer service serta lewat
Instagram.
Dia mengingatkan para pengguna untuk
semakin sadar pentingnya menjaga data pribadi agar tidak terjebak menjadi
korban penipuan siber. (jpg/antara)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: