Pengamat Politik Ini Sindir Menag Harus Ikut Tes Wawasan Kebangsaan

Pengamat Politik Ini Sindir Menag  Harus Ikut Tes Wawasan Kebangsaan

Radartasik.com, JAKARTA — Pengamat Politik Hendri Satrio menilai, Menag Yaqut Cholil Qoumas kurang pengetahuan tentang negara. Hal itu menanggapi pernyataan Menag yang menyebut Kemenag merupakan hadiah negara kepada Nahdlatul Ulama (NU).

Menurut pria yang akrab disapa Hensat itu, pernyataan Menag Gus Yaqut itu menjadi bukti bahwa dirinya tidak memiliki rasa keadilan bagi seluruh umat muslim yang ada di Indonesia.

“Itu jelas pengetahuannya tentang negara sangat kurang,” tuturnya kepada RMOL, Minggu (24/10/2021).

Karena itu, Menag Yaqut semestinya ikut tes wawasan kebangsaan (TWK) seperti yang wajib dijalani setiap aparatur sipil negara (ASN) termasuk yang dilakukan para pegawai KPK beberapa waktu lalu.

“Mestinya ikut tes wawasan kebangsaan itu Menteri Agama sebaiknya begitu itu,” tegas Hensat.


Pendiri lembaga survei Kedai Kopi ini menambahkan, dengan mengikuti TWK, masyarakat akan dapat menilai kualitas kebangsaan Menag Gus Yaqut dalam hal memperjuangan keadilan sosial sebagaimana amanat Pancasila.

“Sehingga kita bisa lihat kemampuan dari pandangan kebangsaan dari seorang Kementerian Agama,” tandasnya.

Disemprot PBNU
Sementara, Sekjen Nahdlatul Ulama (NU) Helmy Faishal Zaini membantah pernyataan Menag Yaqut Cholil Qoumas yang menyebut Kemenag hadiah negara untuk NU.

Sebaliknya, Helmy menegaskan, bahwa Kemenag adalah milik seluruh umat di Indonesia, bukan cuma NU. “Kemenag hadiah negara untuk semua agama, bukan hanya untuk NU atau hanya untuk umat Islam,” tegas Helmy dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Minggu (24/10/2021).

Diakui Helmy, NU memang memiliki peran besar dalam menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta. “Akan tetapi, bukan berarti NU boleh semena-mena berkuasa atas Kemenag atau merasa ada hak khusus atas Kemenag,” ujarnya.

NU, sambung Helmy, memiliki prinsip siapa saja boleh memimpin dan berkuasa dengan landasan, “Tashorroful imam 'alarroiyyah manutun bil maslahah”.

Yang didefinisikan kepemimpinan harus melahirkan kesejahteraan dan kemaslahatan. “Meski saya pribadi dapat menyatakan bahwa komentar tersebut tidak pas dan kurang bijaksana dalam perspektif membangun spirit kenegarawanan,” tandas Helmy. (ruh/pojoksatu)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: