Jimly Asshiddiqie dan Yusril Saling Sindir, Buntut Gugat AD/ART Partai Demokrat
Reporter:
radi|
Minggu 03-10-2021,15:35 WIB
Radartasik.com, JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie menyindir Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra yang menjadi advokat membantu kubu Moeldoko mengajukan judicial review (JR) terhadap AD/ART Partai Demokrat di Mahkamah Agung (MA).
Prof Jimly Asshiddiqie menyinggung soal etika bernegara dan etika kepantasan. Sebab Yusril sendiri menjadi ketua Umum Parpol sekaligus menjadi advokat untuk menggugat AD/ART Partai lain.
“Tapi perlu diingat juga, tegaknya hukum dan keadilan harus seiring dengan tegaknya etika bernegara. Meski UU tidak eksplisit larang advokat jadi ketum parpol, tapi etika kepantasan sulit terima, apalagi mau persoalkan AD (Anggaran Dasar) Parpol orang lain. Meski hukum selalu mesti tertulis, kepantasan dan baik-buruk bisa cukup dengan sense of ethics,” tulis Prof Jimly di Twitter-nya.
Menanggapi itu, Yusril Ihza Mahendra angkat bicara. Pakar hukum tata negara ini menjelaskan, dalam filsafat, norma etik adalah norma fundamental yang melandasi norma-norma lain termasuk norma hukum, sehingga norma hukum yang bertentangan dengan norma etik seharusnya dianggap sebagai norma yang tidak berlaku.
“Tetapi apa yang dibicarakan Prof Jimly adalah etika kepantasan, soal pantas atau tidak pantas, yang secara filosofis bukanlah norma fundamental seperti dibahas Immanuel Kant atau Thomas Aquinas dalam Summa Theologia atau dalam tulisan-tulisan Al-Ghazali,” kata Yusril lewat keterangan tertulisnya, Ahad (3/10/2021).
Yusril menilai, etika kepantasan yang dimaksud prof Jimly adalah tidak lebih dari norma sopan santun yang bersifat relatif dan samasekali bukan norma fundamental dan absolut sebagaimana dalam norma etik.
“Soal etika kepantasan yang disebut Prof Jimly bukan hal fundamental. Norma sopan santun itu konvensional, bahkan kadang tergantung selera untuk mengatakan pantas atau tidak pantas,” kata Yusril.
Yusril lantas memberikan beberapa pertanyaan tentang kepantasan. “Pertanyaan yang sama bisa saja dikemukakan: Apa pantas seorang anggota badan legslatif mengomentari sebuah perkara yang sedang diperiksa badan yudikatif? Apa pantas MK menguji UU MK sendiri, yang MK punya kepentingan baik langsung atau tidak langsung dengan UU itu?”
“Prof Jimly beberapa kali menguji UU yang justru MK dan hakim MK berkepentingan dengan UU yang diuji itu. Prof Jimly akan menjawab tidak ada UU yang melarang MK menguji UU MK. Ya memang tidak, tapi apa pantas? Apa pantas MK memeriksa pengujian UU yang MK berkepentingan dengannya.? Tetapi berapa banyak hal itu dilakukan semasa Prof Jimly jadi Ketua MK?” ujar Yusril Ihza Mahendra.
“Saya kira ini bukan sekedar persoalan etika kepantasan tetapi berkaitan langsung dengan norma etika fundamental terkait dengan keadilan dan sikap inparsial, serta juga norma hukum positif, misalnya UU Kekuasaan Kehakiman,” sambungnya.
Yusril menilai, dalam debat, jika orang terpojok selalu akan mencari dalil yang paling muda yaitu soal etika dan kepantasan
“Dalam pengalaman saya, kalau seseorang terpojok dalam debat intelektual dan akademis, dia mulai mencari-cari dalil untuk “escape”. Jalan paling mudah untuk escape itu ya menuduh pihak lain tidak etis, tidak pantas, kurang elok yang tidak pernah jelas batasan-batasannya” ujarnya. (dal/fin).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: