Pelajar Tak Perlu Divaksin, Tenaga Pendidik Harus..

Pelajar Tak Perlu Divaksin, Tenaga Pendidik Harus..

radartasik.com, TASIK — Menjelang Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT), keharusan vaksin hanya berlaku untuk tenaga pendidik saja. Siswa boleh mengikuti pembelajaran tanpa harus mendapat suntikan atau sertifikat vaksin.


Dari informasi yang dihimpun Radar, sebagian orang tua siswa beranggapan siswa harus divaksin agar bisa ikut PTMT. Hal itu sejurus dengan vaksinasi anak yang saat ini digencarkan oleh Satgas Penanganan Covid-19 Kota Tasikmalaya.

Kepala Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya, H Budiaman Sanusi menyebutkan keharusan vaksinasi hanya berlaku untuk guru. Tidak ada persyaratan vaksin untuk siswa dalam persiapan PTMT ini. “Di aturan kementrian pun tidak diwajibkan,” ujarnya kepada Radar, Kamis (12/8/2021).

Terlebih lagi, kata dia, vaksinasi untuk usia anak atau pelajar masih baru digulirkan. Sehingga ketersediaannya dikhawatirkan belum bisa mengakomodir semua siswa. “Program vaksin untuk anak kan baru dimulai,” terangnya.

Namun demikian, sambung BuA­diaman, bukan berarti anak usia 12 taA­hun ke atas harus menghindari vakA­sinasi. Jika memang ada kesempatan, pemerintah tetap menganjurkannya demi penanganan Covid-19.

Terkait teknis persiapan PTMT sendiri, hingga kini pihak sekolah masih menunggu petunjuk teknis dari Dinas Pendidikan. Sebab perlu kinerja ekstra cepat agar PTMT segera terlaksana.

Seperti halnya Kepala SDN 4 Pengadilan Bangbang Hermana yang bersyukur PTM segera dilaksanakan. Ini sebuah hal yang ditunggu-tunggu baik oleh guru yang sudah rindu bertemu langsung dengan siswanya. “Alhamdulillah, kami bersyukur bisa kembali tatap muka dengan siswa,” ujarnya.

Sejauh ini, pihaknya sudah menyiapkan keperluan protokol kesehatan di lingkungan sekolah. Di antaranya menyediakan tempat cuci tangan dan menata ruang kelas untuk diisi 50 persen dari kapasitasnya. “Termasuk alat pemeriksaan suhu dan handsanitizer,” ujarnya.

Tetapi, pihaknya belum menerima petunjuk teknis sebagai dasar untuk melaksanakan PTMT. Meskipun, sebelumnya proses tatap muka sempat dilaksanakan pada ujian beberapa waktu lalu. “Tapi kan tetap harus ada juklak juknis yang baru sebagai dasar,” ungkapnya.

Selain itu, pihaknya juga merasa harus meminta persetujuan yang baru kepada para orang tua siswa. Supaya bisa memastikan mana siswa yang bisa belajar di sekolah dan mana yang tetap daring. “Senin sepertinya lumayan berat untuk bisa selesai,” ujarnya.

PJJ Turunkan Kecerdasan Siswa

Pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang selama pandemi Covid-19 diterapkan ternyata mempengaruhi emosi siswa yang bredampak pada penuruan kecerdasan. Sayangnya Pemerintah belum memiliki solusi yang tepat.

Muhammad Nur Rizal, Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) menyebut berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pihaknya, PJJ dapat mempengaruhi emosi siswa. Dan umumnya emosi negatif.

”Hasil penelitian yang kami lakukan pada 1.263 siswa mulai jenjang SD hingga SMA, menunjukkan 57 persen siswa SD dan SMP merasakan emosi negatif. Sementara 70 persen siswa SMA yang merasakan emosi negatif,” ujarnya dalam keterangannya, Rabu (11/8/2021).

Dijelaskannya, emosi negatif tersebut yaitu bosan, sedih, kurang memahami materi, stres, bingung, merasa kurang bersemangat, merasa terbebani, kurang puas, hingga merasa kesulitan dalam belajar. Semakin tinggi jenjang pendidikan, maka gap antara emosi positif dan negatif semakin lebar.

”Ini menunjukkan ada proses belajar, strategi belajar atau kurikulum yang ternyata mungkin tidak tepat atau tidak dibutuhkan siswa. Selain tidak sesuai dengan perkembangan mental siswa itu sendiri,” terangnya.

Dengan demikian, terjadi proses belajar yang seragam baik itu jenjang SD hingga SMA. Saat gap emosi negatif semakin lebar di jenjang pendidikan yang lebih tinggi, ternyata tugas yang selama ini disampaikan guru tidak bisa meningkatkan kompetensi belajar siswa.

“Justru tugas-tugas tersebut menjadi beban. Juga ada kesulitan belajar yang dirasakan anak SD hingga SMA, artinya mereka merasa tidak produktif atau berkurang motivasi selama proses belajar,” katanya.

Dijelaskannya, kondisi itu akan berampak pada penurunan kecerdasan dalam membangun peradaban yang semakin berdampak ke learning loss.

“Kesulitan belajar juga menempati posisi tertinggi, ditambah dengan jaringan dan kurangnya motivasi, yang berpotensi terhadap terjadi kehilangan kesempatan belajar ganda,” katanya.

Menurut dia, hingga saat ini belum ada fokus pemerintah untuk menangani masalah kesulitan belajar dan demotivasi sebagai permasalahan mendasar di pendidikan. Selama ini, pemerintah hanya berfokus pada penyelesaian masalah jaringan.

Selain itu, semakin dewasa jenjang pendidikan siswa maka semakin merasa tidak berguna proses belajar PJJ. Sebab merasa tidak produktif dan tidak mendapat keterampilan dan pengetahuan baru.

Karenanya, dia mendorong agar pemerintah dapat menyusun kurikulum darurat yang mendorong interaksi anak dengan lingkungan sosial sekaligus mengatasi persoalan nyata di kehidupan sehari-hari.

Kurikulum darurat tidak cukup hanya mengurangi materi kurikulum kompetensi esensial saja, karena tetap tidak mengubah orientasi dan suasana kebatinan siswa. Kurikulum tersebut terkoneksi dengan keluarga dan kehidupan sosial untuk meningkatkan karakter dan nilai-nilai siswa.

”Dukungan orang tua berupa duA­kungan emosional, sangat dibutuhkan. Peran keluarga sangat kuat untuk membantu proses belajar siswa agar lebih positif dan termotivasi,” katanya. (rga/gw/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: