KLIKCIAMIS, JAKARTA — Pasal dalam RKUHP tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, kini menjadi delik aduan.
Pasal itu berbeda dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang telah membatalkan pasal-pasal dalam KUHP yang dapat menyasar kasus-kasus penghinaan presiden.
”Saat ini aturan tersebut bedanya menjadi delik aduan. Contoh, ketika saya dihina orang, maka saya punya hak secara hukum untuk melindungi harkat dan martabat,” tegas Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly di Jakarta pada Rabu (09/07/2021).
Menurutnya, Indonesia akan menjadi sangat liberal kalau tidak ada aturan terkait dengan penghinaan presiden dan wapres. Karena itu, harus ada batas-batas yang harus dijaga sebagai masyarakat yang beradab.
”Misalnya, di Thailand. Itu lebih parah aturannya. Jangan coba-coba menghina raja, urusannya berat. Bahkan, di Jepang dan beberapa negara hal yang lumrah,” imbuhnya.
Yasonna menyatakan dirinya tidak masalah apabila disebut tidak becus menangani lapas dan imigrasi. Sebab, itu kritik terhadap kinerja.
”Kalau soal kinerja lembaga tidak masalah. Itu kritik dan bisa diterima. Tetapi, sekali menyerang harkat dan martabat saya misalnya dikatakan anak haram jadah, di kampung saya tidak bisa itu. Dikatakan anak PKI, tunjukkan kalau saya anak PKI,” paparnya.
Keadaban, lanjutnya, harus tetap diutamakan masyarakat. Dengan begitu, mengkritik kebijakan presiden dan wapres adalah hal yang wajar. Namun, ketika tidak puas, ada mekanisme konstitusi.
Dalam draf RKUHP yang beredar, aturan terkait penghinaan terhadap presiden/wapres diatur dalam BAB II Pasal 217-219.
Pasal 217 disebutkan bahwa setiap orang yang menyerang diri presiden/wapres yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
Pasal 218 Ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden/wapres dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Ayat (2) menyebutkan tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Pasal 219 disebutkan bahwa setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap presiden/wapres dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Pasal 220 Ayat (1) disebutkan bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. Ayat (2) disebutkan bahwa pengaduan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh presiden/wapres. (rh/fin)