CIHIDEUNG — Tahun 2015, Pemerintah Kota Tasikmalaya melakukan penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Jalan Cihideung. Hasil dari program tersebut, sampai kini ruas jalan di kawasan pusat kota itu menjadi tempat menetap bagi roda-roda PKL.
Penataan tersebut, tercantum dalam Peraturan Walikota TasikAmalaya (Perwalkot) Nomor 60 Tahun 2015 Tentang Penataan Pedagang Kaki Lima Pada Sebagian Ruas Jalan Cihideung Kota Tasikmalaya. Pemerintah di masa kepemimpinan H Budi BuAAdiman- H DedeSudrajat itu meAmberikan sebanyak 332 unit gerobak dagangan bagi para PKL.
Namun kebijakan tersebut malah menimbulkan kontroversi, mengingat kondisinya tidak sesuai dengan apa yang dituju. Kawasan itu kini malah tidak tertata dan mengganggu ketertiban umum.
Disinggung soal PKL di kawasan itu, Kepala Dinas KUMKM Perindag H M Firmansyah mengatakan hal itu (PKL Cihideung, Red) bukan merupakan kewenangannya. Pasalnya, ranah penanganan PKL ada di Satpol PP. “Penanganan PKL bukan di Indag,” ungkapnya kepada Radar, Rabu (19/5/2021).
Para PKL merupakan para pelaku usaha yang bergerak di bidang perdagangan. Hal itu diakui oleh H Firmansyah, di mana ada tanggung jawab pembinaan kepada PKL sebagai pedagang kecil atau ultra mikro.
Akan tetapi, program pembinaan dan pengembangan usaha ultra mikro terhenti sampai tahun 2019. Pasalnya, tahun 2020 dan 2021 anggaran untuk program tersebut terkena refocusing efek dari pandemi Covid-19.
“Indag belum ada program atau kegiatan pembinaan untuk pengembangan usata ultra mikro baik pendataan maupun peningkatan usaha,” katanya.
Dengan tidak adanya anggaran untuk program tersebut, otomatis dua tahun ini para PKL termasuk di kawasan Jalan Cihideung tidak mendapatkan pembinaan.
Wakil Ketua DPD KNPI Kota Tasikmalaya, Dian Pertama mengatakan kawasan itu sudah harus dibenahi. Karena sangat jelas keberadaan roda-roda PKL itu menimbulkan berbagai dampak negatif. “Harus direlokasi agar Kota Tasikmalaya lebih tertata,” ungkapnya.
Keberadaan roda-roda PKL di jalur tersebut, kata dia, tentu memberikan kesan Kota Tasikmalaya yang semrawut. Ini menunjukkan realitasnya tidak sesuai dengan tujuan awal yakni penataan. “Entah perencanaan tata ruangnya tidak matang, atau didasari bisikan,” ucapnya.
Dampak negatif lainnya, yakni penyempitan ruas jalan karena posisi roda berada di atas badan jalan. Ditambah ruang pandang untuk toko-toko di jalur itu menjadi terhalangi. “Sedikit banyak, pemilik toko tentu dirugikan,” terangnya.
Ke depan, dia meminta pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang didasari untuk kepentingan masyarakat. Supaya hasilnya benar-benar bisa memberikan manfaat bagi publik. “Jangan didasari kepentingan politik kelompok apalagi pribadi,” pungkasnya. (rga)