JAKARTA — Direktur Bahan Bakar Minyak Badan Pengatur Hulu (BBM BPH) Minyak Bumi dan Gas Patuan Alfon Simanjuntak menyampaikan kebutuhan jumlah SPBU secara nasional masih kurang jika dibandingkan dengan luasan wilayah dan jumlah penduduk.
”Jumlah SPBU di Indonesia masih kurang, terutama di daerah (luar Jawa) jumlah penyalur masih kurang,” kata Alfon di Jakarta, Selasa (18/05/2021).
Alfon menilai, bisnis hilir migas di Indonesia masih terbuka dan potensial. Menurutnya, ini merupakan potensi bisnis yang besar. ”Peluang bisnis SPBU di Indonesia masih terbuka, konsumsi BBM kita besar,” ujarnya.
Berdasarkan data BPH Migas, sebaran SPBU paling banyak ada di Pulau Jawa dan Bali, yakni mencapai 49,24 persen. Sementara Sumatera sebanyak 23,01 persen, Kalimantan 9,2 persen, Sulawesi 9,47 persen, Papua 3,21 persen, Maluku 2,53 persen, NTB 3,08 persen.
”Kondisi ini mengindikasikan kebutuhan SPBU di Indonesia masih belum mencukupi. Untuk di Jawa saja, bila dilihat dari rasio luas wilayah, keberadaan SPBU 1 berbanding 36,11 km, sementara di luar Jawa 1 berbanding 500 km,” terangnya.
Terkait hengkangnya Petronas dan Total dari bisnis SPBU di Tanah Air, kata Alfon, bukan karena tidak menariknya bisnis BBM di Indonesia, melainkan ada pertimbangan lainnya, seperti portofolio perusahaan yang memang mengurangi bisnis SPBU secara global, serta masalah keekonomian perusahaan.
Meski dua perusahaan asing tersebut berhenti menjual BBM retail di Indonesia, namun ada perusahaan lain yang justru berekspansi di bisnis ini, seperti Shell, BP AKR, maupun Vivo.
”Penjualan Jenis Bahan Bakar Umum atau JBU (BBM non subsidi) dilakukan berdasarkan mekanisme pasar masing-masing badan usaha. Pemegang bisnis niaga umum, ada Shell, Vivo, AKR BP, bagaimana kompetisi dengan sehat, bagaimana pelayanan dan informasi jenis kualitas BBM ke masyarakat,” ujar dia. (der/fin)