TASIKMALAYA, RADARTASIK.COM — Di sebuah ruang belajar sederhana di sudut Kota Tasikmalaya, suara langkah kecil dan bisikan lembut lebih sering terdengar daripada deretan instruksi kaku.
Di situlah Dedi Supriatna (58) menghabiskan hampir seluruh hidup dewasanya bukan sekadar sebagai guru, tetapi sebagai sosok yang meminjamkan hati, tenaga, bahkan rumahnya untuk anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) yang ia sebut sebagai anugerah yang harus diurus dengan sabar.
Sudah sejak 1995 Dedi mengabdi di Yayasan Insan Sejahtera.
Berbekal pendidikan D2 dan dua tahun menempuh SGPLB, ia masuk ke dunia yang menuntut lebih dari sekadar kemampuan mengajar.
BACA JUGA:Akuntabilitas Anggaran Kota Tasikmalaya Dipertanyakan Usai Muncul Selisih Data BTT 2025
Ia belajar memahami isyarat mata anak tunanetra, mendengarkan dunia hening anak tunarungu, memaknai emosi anak tunagrahita, dan mengelola perilaku anak autisme yang sering kali datang tanpa peringatan.
Namun gelar pendidikan yang tak memenuhi syarat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) membuat jalannya tertutup sejak awal.
Dedi memilih tak melanjutkan kuliah demi memastikan anak-anaknya sekolah.
Keputusan itu membuatnya tetap menjadi guru sukarelawan (sukwan) dengan gaji awal hanya Rp50 ribu per bulan, dibayar cicil, kadang baru diterima setelah menunggu beberapa hari.
BACA JUGA:RS Islam Hj Siti Muniroh Tasikmalaya Rayakan Milad ke-31, Mewujudkan Teamwork Membentuk Akhlak
Meski begitu, tak satu pun keluhan meluncur darinya.
“Dari dulu mah yang penting anak-anak bisa belajar dan tenang. Soal gaji kecil ya saya jalani saja,” ujarnya pelan, Selasa 25 November 2025.
Tahun-tahun itu bukan sekadar tentang mengajar.
Dalam banyak kasus, Dedi menjadi perpanjangan tangan keluarga murid.
BACA JUGA:Dari Kampung ke Mancanegara: JNE Antar Zai Muslim Wear Menjadi Brand Mendunia