Buku ini memuat tiga fase pembelajaran A, B, dan C agar siswa bisa belajar aksara Sunda secara bertahap.
“Konsepnya seperti iqra untuk belajar membaca Al-Qur’an. Buku ini membantu guru mengajarkan aksara Sunda secara sistematis,” jelas Irvan.
Tim penyusun buku Calakan terdiri dari Irvan, Bangbang Hermana (SDN 2 Sukamanah), Delis Dahlia (SDN Gunungkoneng), Ira Laelasari (SDN 2 Cikalang), dan Yani Mediawati (SDN 1 Gunungpereng).
Irvan berharap inisiatif ini berkembang menjadi gerakan bersama di Kota Tasikmalaya, bahkan di seluruh Jawa Barat.
BACA JUGA:HUT Kota Tasikmalaya Akan Dikemas Sederhana dan Pro Rakyat Sesuai Arahan Mendagri
Ia bermimpi aksara Sunda bisa menjadi muatan lokal wajib, bukan sekadar ekstra kurikuler atau persiapan lomba.
"Kalau ini bisa diterapkan di semua sekolah, kita tidak hanya mengenalkan aksara Sunda, tapi membuat anak-anak bangga menggunakannya,” tambahnya dengan optimistis.
Bagi Irvan, menjaga aksara Sunda bukan sekadar melestarikan peninggalan masa lalu. Lebih dari itu, ini adalah cara merawat akar budaya agar generasi muda tetap mengenal jati dirinya.
Di ruang-ruang kelas sederhana di Cihideung, semangat itu terus menyala.
BACA JUGA:Resmi Eks Bintang Persib Berlabuh di Persis, Berikut Daftar Pemain Asing Laskar Sambernyawa
Dari buku-buku Calakan, dari papan tulis yang penuh aksara Sunda, dari tawa anak-anak yang belajar menulis hanacaraka. Harapan itu hidup, bahwa aksara Sunda tidak akan punah.