Agus Saptanudin menjelaskan, pemasangan pagar apung sengaja dilakukan ketika laut sedang pasang. Tujuannya agar proses membawa pagar apung ke titik pemasangan tidak terlalu berat karena pagarnya terapung di air. Jadi pagar apung tinggal ditarik tidak perlu dipikul.
”Kita memanfaatkan energi air untuk membantu meringankan kita membawa pagar apung,” ujar anggota KPL Pansela Kebumen ini.
Di titik pemasangan, pagar apung disisipkan di sela-sela pagar bambu lalu diikatkan ke patok bambu sebagai jangkar yang ditancapkan di pasir.
Tim Restorasi Mangrove Dumaring dan warga tampak berjibaku memasang pagar apung saat ombak menerjang. Sesekali mereka terlihat timbul-tenggelam di air.
”Saat berpuasa kita harus menahan godaan karena air juga sering masuk ke mulut. Kita jangan sampai menelannya,” kata Agus.
Tim Restorasi Mangrove Dumaring menyiapkan pagar apung yang akan dipasaing di area penanaman pohon bakau di Pantai Dumaring, Kecamatan Talisayan, Kabupaten Berau, pada Kamis siang, 21 Maret 2024.-Sandy Abdul Wahab-Radar Tasikmalaya
Tim Restorasi Mangrove Dumaring menyiapkan pagar apung yang akan dipasaing di area penanaman pohon bakau di Pantai Dumaring, Kecamatan Talisayan, Kabupaten Berau, pada Kamis siang, 21 Maret 2024.-Sandy Abdul Wahab-Radar Tasikmalaya
Agus menyatakan, saat memasang pagar apung, tim menghadapi tantangan sendiri. Dia dan rekan-rekannya harus mampu menyeimbangkan tubuh saat arus bawah dan arus atas Laut Sulawesi memberikan tekanan. ”Badan kita sampai pegal-pegal. Apalagi kedalaman air sering lebih dalam dari tubuh kita. Harus bisa berenang,” ujarnya.
Menurut Agus, berdasarkan pengalamannya di Jawa, pagar apung bisa bertahan selama 1 tahun. Namun, di Pantai Dumaring, daya tahan pagar apung kemungkinan kurang dari satu tahun. Hal ini mengingat pagar apung yang dipasang terpapar secara langsung oleh ombak.
”Kalau di Pulau Jawa, walaupun Pantai Selatan, aktivitas kita (di lokasi penanaman mangrove, red) tidak terpapar langsung oleh ombak,” katanya.
Berdasarkan hasil pemantauan selama seminggu pascapemasangan, menurut Agus, keberadaan pagar apung itu membuahkan hasil. Banyak sampah-sampah rumah tangga, pakaian, rumpun nipah, dan plastik yang tertahan pagar apung sehingga tidak masuk ke lokasi penanaman bakau. ”Mudah-mudahan pagar apung ini bisa berfungsi dengan baik sesuai harapan,” ujar Agus.
Darmono menambahkan, berdasarkan pengalamannya di Jawa, pemagaran area penanaman bibit bakau dengan sistem pagar apung sangat efektif untuk menghalau sampah yang mengapung. Penanggulangan sampah ini sangat penting mengingat di Pantai Dumaring banyak sampah datang dari hutan dan permukiman warga yang hanyut ke sungai. ”Saat sampah-sampah ini masuk ke laut otomatis terdorong ombak dan kembali lagi ke tepian,” tutur Darmono yang juga sebagai anggota KPL Pansela.
Koordinator Program Kolaborasi Konservasi Mangrove Dumaring, Nandang Mulyana menjelaskan, pihaknya sudah mengidentifikasi potensi gangguan-gangguan terhadap kelestarian area konservasi saat melakukan kajian.
”Gangguan-gangguan itu dikelompokkan, ada gangguan yang bersifat alami dari alam dan gangguan dari manusia,” ujar pria asal Sukabumi, Jawa Barat itu.
Nandang menjelaskan, gangguan yang bersifat alami contohnya abrasi, gelombang pasang, dan arus laut yang menggerus pantai di lokasi penanaman. Adapun gangguan dari manusia contohnya sampah-sampah yang berserakan dan penebangan mangrove.
Untuk menanggulangi gangguan dari alam, menurut Nandang, pihaknya sudah memasang hybrid engineering—konstruksi semi permanen dari bahan-bahan alam seperti bambu. Tujuannya adalah untuk melemahkan gelombang yang datang ke area penanaman. Dengan demikian, tekanan gelombang yang lemah tidak akan merusak pohon bakau yang existing (yang ada).
Kemudian, untuk menanggulangi gangguan dari manusia, khususnya penebangan mangrove, Nandang mengatakan, Tim Restorasi Mangrove Dumaring rutin melakukan patroli setiap hari.