Studi ITB tersebut konsisten dengan kajian pencampuran etanol 5% dengan pertalite RON 90 yang dilakukan PT Pertamina.
Potensi hilirisasi bioetanol berbasis tebu membuka peluang menciptakan ketahanan energi melalui pengurangan ketergantungan impor bahan bakar minyak nasional, sekaligus menciptakan bauran energi baru terbarukan yang ramah lingkungan.
Hasil riset ITB tersebut juga menunjukkan Indonesia telah menghemat devisa sebesar USD 2.6 miliar dari substitusi impor diesel melalui program Biodiesel kelapa sawit.
Di sisi lain, laporan ITB memproyeksikan Indonesia akan mengimpor hingga 35.6 juta kiloliter pada 2040 atau hampir dua kali lipat dari jumlah impor bahan bakar minyak tahun 2021.
Bahwa, penggunaan bioetanol sebagai bahan campuran BBM dapat menurunkan impor BBM jenis bensin, menurunkan polutan emisi kendaraan dan menciptakan potensi lapangan kerja di sektor pertanian dan produksi bioetanol.
Manfaat lain bioetanol juga adalah potensi pengurangan emisi gas rumah kaca hingga 43%, termasuk CO2, NOx dan Partikel PM2.5 dan meningkatkan bauran energi terbarukan Indonesia yang ditargetkan mencapai 23% pada tahun 2025.
Penurunan emisi dapat terjadi karena etanol sebagai gasohol memiliki nilai oktan sebesar (RON) 128. Sehingga, pencampuran bioetanol dengan bensin akan meningkatkan kadar oktan dan kualitas pembakaran BBM.
Untuk mendukung program subsitusi BBM ke BBN (Bahan Bakar Nabati) ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama tim riset Institut Teknologi Bandung (ITB) didukung oleh US Grains Council (USGC).
BACA JUGA: Kuliner Kota Tasikmalaya Selalu Ngehits, Ada Bakery German yang The First Here In Town
Tim ini juga telah berhasil menyusun Peta Jalan Strategis untuk Percepatan Implementasi Bioetanol di Indonesia.
Kajian peta jalan yang mulai disusun sejak 2021 guna mendukung program implementasi penggunaan bioetanol pada bahan bakar untuk kendaraan bermotor dan mempersiapkan industri bioetanol di Indonesia.