Hari itu ia minta saya datang bawa foto-foto terkait sidang pembunuhan Putri. Majalahnya membayar pada fotografer kami untuk tiap foto yang dimuat.
”Aku kemarin ketemu Eel di Mapolresta. Saya nunggu ketemu Kapolres, eh, dia keluar. Agak kaget dia saya lihat. Kenapa, ya? Kok kamu nggak ikut, Dur?” tanya Bang Jon.
”Ah, Bang Jon tahulah, saya malas ketemu-ketemu pejabat begitu. Bagi-bagi tugaslah,” kata saya.
Dunia jurnalistik saya adalah ruang pemberitaan. Dunia yang sempit, tapi dinamis. Ruang di mana liputan dirancang, berita diolah, wajah koran didesain, koran dievaluasi, dinilai baik-buruk isinya, ditinjau penjualannya.
Bertemu orang-orang di luar ruang pemberitaan, asal masih terkait dengan urusan berita saya tentu tak menolak. Berita bagiku adalah tipping point, pengungkit kecil, yang apabila dilakukan pada hal yang tepat, akan membawa serangkaian perubahan besar.
Berita memang tidak serta-merta bisa mengubah keadaan. Berita adalah bahan awal bagi publik untuk jadi pertimbangan mengambil keputusan dan tindakan. Bayangkan kalau surat kabar kami memberi bahan yang tak sesuai fakta. Apa jadinya? Dengan keyakinan seperti itu saya percaya pekerjaan saya ada faedahnya bagi publik luas. Itu saja cukup.
Saya sering menyampaikan hal itu ke wartawan saya. Mungkin mereka bosan. Tapi itu sikap. Sikap untuk bersikap. Sikap yang menjadi dasar ketika ada persoalan yang menuntut kami harus menentukan sikap.
Saya ingat suatu hari saya pernah berbincang dengan Pak Indrayana Idris. Percakapan yang membentuk dan memengaruhi sikap saya. Dia memang bisa muncul tiba-tiba saja di kota-kota di mana ada terbit koran grup kami. Ke Bortam, agak sering. Kota ini termasuk yang istimewa buat dia. Kami duduk di kafe bandara, menunggu pesawat ke Jakarta. ”Menurutmu kebebasan pers itu milik siapa?”
Saya menjawab, “Milik kita, wartawan….”
”Bukan. Salah. Baca lagi UU Pers. Kemerdekaan pers itu milik publik, milik rakyat yang merdeka. Rakyat di negeri yang merdeka. Kita wartawan hanya memakai, menggunakan, memanfaatkan kebebasan pers. Buat apa? Melayani kepentingan publik, si pemilik kebebasan pers itu,” katanya.
”Memakai kebebasan pers itu dengan sebaik-baiknya adalah cara kita merawat dan mengembangkan kebebasan itu. Itu juga ada di UU Pers, baca ya, nanti kita diskusi lagi,” kata Pak Indrayana Idris. Saya ingin lebih banyak berdiskusi, tapi dia sudah harus masuk pesawat.
Manajer Hendra datang dengan laporan soal perampasan koran di agen kami. Siapa pun pelakunya mereka adalah pihak yang mengganggu kebebasan pers. ”Saya curiga pelakunya orang yang disuruh Podium Kota,” katanya.
Penjelasannya begini, ternyata perampasan koran terjadi lagi pada hari berikutnya, di agen-agen lain. Ada pola yang sama: agen-agen itu tak mau menjual Podium Kota. Saya menanyakan hal yang sama pada Pak Halim, agen besar kami itu. ”Anak-anak loper malas bawanya. Nambah berat aja. Susah jualnya. Returnya aja lebih dari separo,” katanya.
Pada hari itu juga, di Podium Kota ada iklan ucapan satu halaman. Iklan yang tak lazim. Foto pernikahan Pintor dan Putri, tentu saja itu foto lama, dengan pakaian pengantin, disertai ucapan selamat hari ulang tahun pernikahan. Iklan itu dipasang oleh ibu dan ayah Putri.
Podium Kota juga memuat tulisan bersambung tentang kisah cinta Pintor dan Putri. Tampaknya indah dan manis. Tapi bagiku itu provokatif dan menyesatkan proses sidang yang berlangsung. Menggiring opini ke arah yang diinginkan oleh mereka yang sejak awal menyusun skenario membelokkan kasus ini. ”Kalau kita memberitakan dengan berita yang berbeda, kita sebenarnya tidak melawan siapa-siapa, kita sedang meluruskannya, mengembalikan ke proses yang adil,” kata saya di rapat redaksi hari itu. (*)