Siapa Membunuh Putri (8) - Durian Lebat Sekebun Runtuh

Minggu 11-09-2022,05:30 WIB

Oleh: Hasan Aspahani

IMAJINASI tentang tahun 2000, jauh sebelum dekade itu sampai, dalam lirik-lirik lagu pop Doel Sumbang dan kasidah Nasida Ria adalah gambaran cemas tentang hidup yang serba mesin dan manusia tidur berdiri. Di kota pulau ini, saya melihat dan menjadi bagian dari kota yang ”tidur berlari sambil berkejaran dengan mesin”. 

Saya di kota ini adalah manusia tahun 2000 itu. Mengingat-ingat kegagapan dunia menyambut millennium baru, alat baru ini, konyol juga rasanya. Ada info tersebar bahwa perbankan akan kolaps, karena angka nol yang berderet itu membuat sistem komputer akan error. Kontrol penerbangan di bandara di seluruh dunia katanya juga akan kacau dan pesawat-pesawat yang lepas landas dan mendarat akan saling bertabrakan. 

Mesin besar itu mengatur hidupku. Membuat saya harus menyesuaikan semua kegiatan dan kebiasaan lain dengan jadwal kerja mesin itu. Mesin itu bernama Goss Community. Hampir tiap malam saya menyempatkan diri –atau malah mewajibkan, bahkan jadi ritual karena apabila tidak kulakukan ada yang kurang rasanya– melihat bagaimana mesin cetak itu bekerja. Mencetak halaman-halaman koran yang baru saja kami kerjakan. 

Derunya yang monoton, tapi dinamis, seperti kereta yang membawa deretan gerbong panjang, bergerak tak putus-putus. Saya suka melihat bentangan kertas panjang mengulur dari rol di ujung mesin, menjadi tumpukan koran yang sudah terpotong dan terlipat rapi di ujung lain. Membawa hasil kerja pikiran kami, liputan kami, suntingan kami. 

Saya bahkan kadang-kadang terbawa imajinasi bahwa diriku pun terseret oleh gerbong-gerbong kertas itu! Kadang-kadang saya merasa terikut dalam perjalanan yang tak jelas mau ke mana tujuannya, atau apabila saya tahu, ini bukanlah tujuanku. Fakta-fakta yang tiap hari saya buru begitu rapuh rasanya. Kebenaran bisa hanya berumur satu hari karena esok telah ada lagi keterangan lain menggantikannya. Itu mungkin sebabnya di saat-saat seperti saya jatuh cinta pada sastra, terutama puisi. Saya merasakan kebutuhan akan untuk masuk ke sana, demi kebenaran yang lebih awet.

Goss Community di aula besar percetakan kami itu adalah bukti kerja keras kami di Metro Kriminal. Target 30 ribu oplah di akhir tahun kami capai bahkan di bulan November tahun itu. Kami dapat bonus dua bulan gaji. Untuk pertama kalinya, kami mendapatkan bagian dari laba perusahaan, hasil kerja kami. Bagi karyawan seperti kami, yang tak punya saham kepemilikan, ini tentu saja membuat kami merasa memiliki tempat kerja kami. Bahkan mencintai. Saya mengajak anak-anak redaksi untuk ”bekerja dengan cinta”, seperti nasihat Gibran. 

Kami bergerak cepat, mengimbangi, kota pulau yang juga bergerak sangat cepat. Seperti disulap, kata seorang penyair Riau. Seperti ponsel di tanganku ketika pertama kali saya memegang dan memakainya. Benar-benar terasa seperti sulap. Sewaktu kecil dulu, saya dan teman-teman bermain meniru adegan dalam film fiksi ilmiah, bicara dari jarak jauh dengan alat komunikasi seperti telepon melingkar di tangan. 

Di kantor, setelah Bang Eel, saya pemilik ponsel nomor 2. Dia memberi Ericsson sebesar ulekan dan kartu perdana yang harganya tak akan saya beli dengan uang gaji saya. Banyak pekerjaan terbantu dengan alat komunikasi dan teknologi baru ini. Tapi bagiku ini seperti mesin baru, mesin yang lain lagi yang mengatur dan menyeret hidupku ke arah lain. 

Bang Jon tak jadi bergabung di koran baru. Ia bikin majalah mingguan, yang banyak memberi porsi khusus berita-berita kriminal. Dimodali pengusaha mobil dan eksporter pasir. Ia tak terlalu yakin ketika mengajakku bergabung, mengingat penolakanku sebelumnya. 

Ia juga tak bertanya soal Nenia yang setelah kejadian malam itu, saya lihat sering ke mana-mana bersama Bang Eel. Saya dengan Bang Jon dan Bang Eel sempat bertemu dan marah-marahan soal Nenia itu. Saya tak pedulikan. Bukan urusan saya. Beberapa kali dia bawa mampir ke kantor redaksi kami. Saya berusaha berusaha menjaga kewajaran ketika bertemu dengannya, seakan tak pernah ada apa-apa, tapi ya memang tak ada apa-apa.

Kabar tentang penerbitan koran baru, menyusul mesin cetak baru yang kami punya makin santer. Dinamika kota sedang dipersiapkan dengan serius. Saya sekali diajak rapat persiapan. Hanya jadi pendengar. Itulah saat pertama kali saya berada dalam satu ruangan dalam waktu yang lama bersama CEO grup kami Indrayana Idris. 

Hari itu langsung terbang dari Surabaya dan akan terus menyeberang ke negeri jiran itu. Bicaranya cepat. Retorikanya membuat gagasannya mudah dipahami dan disetujui. Saya seperti mendapat konfirmasi dari kesan tentang ia yang kutangkap dari tulisan-tulisannya yang kami muat di koran-koran kami. Ia paparkan nanti bagaimana strategi dua koran itu dijalankan.

“Di Amerika di tiap kota selalu ada dua koran yang kuat, satu koran umum, satu koran metro. Kita tiru itu. Metro tetap jadi koran kriminal, seperti sekarang, dinamika nanti akan jadi koran umum. Tentu akan terjadi persaingan, tapi itu sehat, malah tak bagus kalau tak ada kompetisi. Terlena nanti. Tak ada ukuran. Kalau pun kita tak bikin koran, grup kompetitor pasti akan masuk,” kata Pak IDR. 

Saya teringat tawaran Bang Jon. Saya membayangkan ketegangan seperti apa nanti yang akan terjadi antara dua koran kami itu. Siapa yang akan kelola ”Dinamika Kota”? Pasti orang-orang baru. Orang-orang hebat yang telah sukses di daerah lain dan dikumpulkan nanti di situ. Koran Metro di grup kami adalah koran nomor dua. Kelasnya beda dengan koran umum. Berhasil di koran metro, seperti yang sekarang kucapai, belum tentu bisa berhasil di koran umum. 

Kategori :