Jadi, Uwais al-Qarni mengajak umat muslim untuk bersedekah dengan harta kekayaan mereka dan tidak menyimpannya, terutama tatkala orang-orang di sekitarnya sedang membutuhkan. Uwais al-Qarni mensedekahkan apapun yang ada di tangannya, dan perilaku semacam ini sangat jarang terjadi. Setiap kali waktu sore sudah tiba, Uwais akan mensedekahkan apapun yang ada di rumahnya, baik itu makanan maupun pakaian. Setelah itu, ia akan berdoa: Ya Allah, bila ada orang mati karena kelaparan dan tidak punya pakaian, maka jangan hukum hamba karena itu.
Dengan demikian, sufisme Islam dapat juga dikatakan sebagai aktivisme sosial. Para sufi akan mengorbankan kepentingan dirinya sendiri demi mensejahterakan orang lain, demi mengentaskan kemiskinan. Dalam bahasa sosiologi modern, kaum sufi adalah para aktivis pembebasan dalam melawanan kemiskinan alamiah maupun pemiskinan struktural. Kaum Sufi pasti melawan melihat ketidakadilan ekonomi dan ketimpangan sosial.
BACA JUGA:Jadwal Salat Kabupaten Pangandaran Hari Ini
Sufisme Islam juga bisa disebut sebagai ideologi pembebasan. Jika Hassan Hanafi dan Asghar Ali Engineer baru-baru ini memperkenalkan teologi pembebasan, maka sejatinya Uwas al-Qarni yang wafat pada tahun 38 Hijriah sudah memberikan contoh keteladanan dari Islam Pembebasan tersebut. Jika ormas keagamaan, sebut Muhammadiyah, NU, dan ormas lainnya, mendasarkan gerakannya pada surat al-Ma’un, maka Uwais al-Qarni bisa menjadi teladan mereka. Sebab, kepedulian sosial dan ibadah horizontal adalah inti sufisme Islam. (*)
Penulis adalah : Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.