HAITI, RADARTASIK.COM - Pertempuran geng di ibukota Haiti selama seminggu telah menewaskan sedikitnya 89 orang menurut laporan sebuah kelompok hak asasi pada hari Rabu 13 Juli kemarin.
Pertempuran meletus pada tanggal 7 Juli antara dua geng yang bersaing di Cite Soleil, sebuah lingkungan miskin dan padat penduduk di Port-au-Prince.
Pertempuran geng di daerah kumuh terjadi hampir satu minggu, namun polisi yang kekurangan staf dan peralatan tidak mau melakukan intervensi.
BACA JUGA:Wawancara Dengan Bos Geng, Dua Nyawa jurnalis Melayang
Sementara organisasi kemanusiaan internasional berjuang untuk mengirimkan pasokan makanan penting dan memberikan perawatan medis kepada para korban.
Ribuan keluarga yang tinggal di daerah kumuh yang bermunculan di Cite Soleil selama empat dekade terakhir tidak punya pilihan selain bersembunyi di dalam rumah mereka.
Mereka tidak dapat mengambil makanan atau air ditambah dengan banyak rumah yang terbuat dari lembaran papan membuat puluhan penduduk menjadi korban peluru nyasar.
Setidaknya 89 orang tewas dan 16 lainnya hilang dalam kekerasan pekan lalu menurut laporan Jaringan Pertahanan Hak Asasi Manusia Nasional dan menambahkan 74 orang lainnya menderita luka tembak atau pisau.
Mumuza Muhindo, kepala misi lokal Doctors Without Borders, mendesak semua anggota geng untuk mengizinkan petugas medis mendapatkan akses dengan aman di Brooklyn, sebuah area di Cite Soleil yang paling terkena dampak kekerasan.
Meski berbahaya Muhindo menjelaskan pihaknya telah mengoperasi rata-rata 15 pasien sehari sejak Jumat minggu lalu.
Muhindo mengatakan rekan-rekannya telah melihat mayat yang terbakar dan membusuk di sepanjang jalan menuju lingkungan Brooklyn.
“Ini medan perang yang sebenarnya,” kata Muhindo dikutip dari CNA.
"Tidak mungkin memperkirakan berapa banyak orang yang terbunuh," tambahnya.
Didorong oleh kelambanan polisi, geng-geng menjadi semakin berani dalam beberapa pekan terakhir.
Setidaknya terjadi 155 penculikan di bulan Juni sementara 118 penculikan terjadi di bulan Mei menurut sebuah laporan yang dirilis oleh Pusat Analisis dan Penelitian Hak Asasi Manusia.
Kemiskinan yang menghancurkan dan kekerasan yang meluas menyebabkan banyak orang Haiti melarikan diri ke Republik Dominika, yang berbatasan dengan Haiti, atau ke Amerika Serikat.
Tanpa uang dan tanpa visa, banyak dari mereka mempertaruhkan hidup mereka dengan menaiki perahu darurat dengan harapan mencapai Florida AS.
Banyak yang berakhir di Kuba atau Bahama atau dihentikan di laut oleh otoritas Amerika Serikat dan kembali ke rumah.
Ketika kembali, mereka harus menghadapi kemiskinan yang mereka coba hindari dan inflasi tahunan sebesar 20 persen.
Hampir setengah dari 11 juta penduduk Haiti sudah menghadapi kekurangan pangan, termasuk 1,3 juta yang menghadapi darurat kemanusiaan menurut perhitungan PBB.
Namun kekerasan juga mengganggu upaya untuk membantu mereka: WFP sudah mencoba melewati wilayah Port-au-Prince dengan berusaha mengirimkan bantuan ke selatan dan utara negara itu melalui udara dan laut.