Jimmy Marta
UU no 32/2002 tentang penyiaran amanatnya menyatakan yg boleh berjaringan nasional hanya tvri dan rri. Sejak itu banyak tumbuh tv2 lokal. Langkah antisipasi sembari berharap akan diajak kerjasama untuk jaringan ke daerah2. Tentu saja harapan ada bagi2 kue iklan. Kenyataannya implementasi dari uu itu mandul. Permen sbg aturan turunannya dibuat tak bergigi bahkan kalah gugatan. Tv swasta itu sudah invest banyak untuk jaringan pemancar didaerah. Siapa mereka anda sudah tahu. Selama dua puluh tahun mereka menang. Tv2 lokal yg dahulu terlanjur menjamur pd lelah dan sakit. Berguguran satu demi satu. Kerjasama yg diharap hancur musnah. Pengelola tv swasta yg besar itu punya solusi sendiri. Kewajiban bersiaran lokal disiasati konten lokal selama dua jam perhari. Disiarkan saat anda semua terlelap. Disebut jam hantu... huhu..
Komentator Spesialis
Di era digitalisasi informasi, yang ada bukan akan eksis bukan pemilik stasiun TV. Tetapi, pemilik konten siaran. Karena orang akan melahap menu kontennya, bukan stasiun TV nya. Contohnya, ketika acara ILC diberangus dari TVOne yang alasannya anda sudah tahu sendiri, bung Karni Ilyas meluncurkan channel ILC di youtube. Toh sama juga, viewer bukan mengalir ke TVOne, tetapi ke channel ILC Youtube. Pemasang iklan akan lebih rasional untuk mengejar target promosi yang dalam hal ini lebih terukur dan termonitor beriklan melalui internet daripada stasiun TV.
No Name
Mau nanya ini ah. Mumpung tidak out off topik. Ada hubungan-nya dengan dunia digital. Prospektus MTEL itu awal aktanya kok cuma 2 step. Step awal, modal sekitar 205 B. Tiba-tiba berubah jadi T pada step 2. Jumlah saham melebar. Harga dari 2280 ke 228?. "Dari tahun 1995-2021". Tidak ada catatan stock split, cuma mengeluarkan saham baru dari portepel. Lanjut, Telkom buy back apa gimana?. Ada perubahan komposisi soalnya. Terutama pemilik lama "TM Communication (HK) Limited", pas tak cari infonya lewat google sudah larut. Terus di jual lagi ke Citibank SG, terus INA masuk gitu iya?. "Ini nanya serius karena nggak paham. Terutama Telkom buy back di harga berapa?".
Dacoll Bns
Alhamdulillah TV yg dibelikan mertua saya 4 tahun lalu sudah support untuk menangkap digital broadcast tanpa STB, sekitar 2-3 bulan lalu sy coba2 untuk seqarch otomatis dan ternyata tertangkap 830 an channel. Alamak, banyak kali... Ternyata ada beberapa yg masih siaran percobaan (sepertinya TV lokal) dan beberapa yg loncat channelnya, jadi 830 itu cuma channel yg dipilih TV nya untuk broadcast... Cuma sayangnya kalau antena kena angin, channelnya langsung gelap gulita dan gak ada semut lagi kayak TV analog. Kualitas gambarnya memang top banget, bening kayak nonton pakai parabola jaman dulu , cuma masih ada stasiun TV nasional yg beberapa program siarannya masih aspek ratio tv tabung (4:3) jadinya tampilannya melar kalau dilihat di TV wide (16:9)
Juve Zhang
Abah Disway alumni Tempo, harus bangga Tempo buka berita ACT yg " revenue-nya" kelas kakap konon 750 milyar dan gaji direktur 250 juta wkwkwkwkwkw. Revenue seperti ini jelas kelas kakap mengingat Modal pokok hanya Baliho, iklan di medsos yg murah meriah. Supaya transparan suruh saja IPO go publik wkwkwkwkwk mungkin ada Komentator yg minat jadi Komisaris Independen nya gaji 100 juta wkwkkwkwk
Abdul Wahib
Rasanya bukan pak menteri yg menundukkan bos besar televisi. Tapi internet itu sendiri. Sdh lama bisnis televisi tergusur oleh yutub. Hanya generasi emak saya (60 tahun lbh usianya) yg tetap setia nonton televisi. Itupun hanya acara tertentu. Jadi, kalau skrg bos televisi pada nurut, karena mereka sdh kalah. Pasrah wae
Patrick Dimaya
di seluruh sumatera non ibukota provinsi sepertinya sama semua pak, senasib sepenanggungan.
Dahlan Batubara
Di Mandailing, Sumut, siapa yg punya tv pasti punya payung terbalik (parabola). Tak ada antena tulang ikan. Dari dulu begitu. Makanya tiap rumah pasti ada payung terbalik.