Program Food Estate Disorot Publik

Jumat 05-03-2021,13:23 WIB
Reporter : radi

JAKARTA — Program lumbung pangan atau Food Estate yang sedang berjalan tengah mendapat sorotan publik. Belum usai kehebohan laporan salah satu petani atas gagalnya menanam bawang putih, kini disebut berpotensi memperparah terjadinya krisis iklim.

Merespons hal ini, Anggota Komisi IV DPR-RI, Andi Akmal Pasluddin berjanji akan melakukan evaluasi terhadap Food Estate yang dijalankan oleh pemerintah.

Legislator dari Fraksi PKS itu mengatakan, selain efektivitas dari program tersebut belum jelas, persoalan deforestasi yang terjadi juga menjadi catatan khusus yang perlu ditinjau secara seksama.

“Food Estate itu seperti apa, yang mendapat manfaat benar itu siapa?, Ini kan belum jelas juga bagi kami. Sementara anggaran yang dikeluarkan sangat besar,” ujar Andi seperti dikutip dari Fajar Indonesia Network (FIN), Kamis (04/03/21).

Namun demikian, Andi meminta semua pihak untuk bersabar. Pihaknya akan segera meninjau ke lokasi-lokasi program Food Estate, guna mendapat gambaran yang jelas bagaimana program tersebut dijalankan, termasuk juga apakah benar hasil kajian yang menyebutkan Food Estate merusak lingkungan dan menyebabkan krisis iklim.

“Kita mau kumpulkan fakta-fakta dan semua informasi di lapangan. Sebab informasi yang ada saat ini kan plus minus ya,” tuturnya.

Terpisah, Guru Besar Pertanian IPB, Hermanto Siregar mengatakan, dirinya sudah sering menyampaikan bahwa program Food Estate memiliki dampak yang sangat buruk terhadap lingkungan. Terlebih pada program Food Estate kali ini, di mana lahan gambut seluas 1 juta hektare (ha) di Kalimantan, dikonversi menjadi lahan pertanian.

“Saya sudah bicara supaya hati-hati menjalankan Food Estate itu sejak 2 tahun lalu. Karena dalam sejarahnya sejak beberapa presiden yang lalu, Food Estate itu hampir semuanya gagal. Coba kasih contoh, mana yang berhasil, enggak ada kan,” ujar Hermanto kepada FIN, kemarin.

Menurutnya, alih fungsi lahan gambut dan rawa, sangat berpotensi merusak lingkungan. “Jadi dampaknya kepada petani atau masyarakat, boro-boro positif, malahan bisa jadi banjir seperti kemarin. Walaupun itu bukan hanya Food Estate, tapi juga karena yang lain-lain. Tapi memang dampaknya terhadap lingkungan negatif. Hasilnya tipis, banyakan buruknya daripada hasilnya,” ungkapnya.

Hermanto mengungkap kegagalan atas program Food Estate yang terdahulu yaitu karena pemerintah kurang memberdayakan kearifan lokal. Padahal, yang lebih mengenal lingkungan pertanian di suatu daerah adalah petani lokal itu sendiri. Ke depan, ia mengusulkan agar program Food Estate itu digantikan dengan program intensifikasi lahan pertanian yang sudah ada.

“Karena yang tahu praktik pertanian yang biasa dilakukan ya hanya para petani. Sementara Food Estate itu kan kebanyakan tenaga luar yang diatur oleh perusahaan. Solusinya ya hanya intensifikasi lahan milik petani yang belum ditanami, kemudian diberikan dukungan fasilitas pembiayaan hingga teknologi pertanian. Kalau Food Estate itu untuk siapa?,” pungkas Hermanto.

Sebelumnya, hasil kajian lembaga Madani Berkelanjutan menemukan hutan alam seluas lebih dari 1,57 juta hektare di dalam daerah alokasi (Area of Interest/ AOI) Food Estate di empat provinsi, berpotensi terancam oleh pengembangan Food Estate, dan terluas berada di Provinsi Papua.

Tercatat hampir 41 persen atau 642.319 hektare dari luas tersebut merupakan hutan alam primer, sementara itu gambut yang bertutupan hutan alam mencapai 730 ribu hektare (51,4 persen) yang secara tegas keduanya dicantumkan di RPJMN 2020-2024 sebagai development constraint yang harus dijaga. (fin/red)
Tags :
Kategori :

Terkait