17 Tahun Radar Tasikmalaya, Visi Sang Maestro

Senin 01-03-2021,10:20 WIB
Reporter : andriansyah

Sudah 17 tahun usia Radar Tasikmalaya. Saya teringat diskusi sekitar 12 tahun silam dengan Pak Dahlan Iskan (DI). Kami di grup menyapa beliau Abah. Diskusi berlangsung di dalam mobil X-Trail-nya Pak Yanto. Saat itu dari Cirebon Abah mau menuju Semarang. 

Tapi Abah ingin ke Kuningan dulu. Lalu dilanjutkan ke Tegal, Pekalongan, dan berakhir di Semarang.

Bagi saya, itu perjalanan perdana satu mobil bersama Abah. Saya tidak menyangka, tiba-tiba Pak Yanto meminta saya yang mengemudi. Saya pikir mengantar sebatas ke Kuningan. Selepas itu saya bisa langsung pulang ke Tasik. Makanya Kang Agus (saat itu manajer pemasaran) yang datang ke Radar Cirebon bersama saya, menunggu di Kuningan. Ternyata tugas mengemudi harus dilanA­jutkan menuju Tegal. 

Abah ingin melihat Radar Tegal. Kang Agus pun akhirnya saya minta mengikuti. Jaga-jaga kalau tugas mengemudi hanya sampai Tegal. Jadi pulang ke Tasik mudah. Sebab kendaraan sendiri sudah siap. 

** 
Di dalam mobil, selain saya dan Pak Yanto (wadirut Radar Tasik), ada Pak Suparno (komisaris Radar Tasik)--beliau wafat 9 Desember 2020 dan dimakamkan di Ngawi Jawa Timur (kami yang satu mobil itu, walau tidak  bersamaan datangnya, turut mengantar pemakaman almarhum di kampung halamannya kawasan Kaki Gunung Lawu). 

Menemani Abah dalam perjalanan Cirebon-Kuningan, awalnya saya tidak percaya diri. Terutama faktor tidak bisa mengemudi ngebut seperti yang disukai Abah. Apalagi yang di dalam mobil para bos. Ada beban mental menjaga keselamatan  mereka. Jadi memilih kecepatan menengah saja.

Kami berempat, sepanjang perjalanan berbincang banyak hal. Mulai tentang politik, bisnis media, masalah sosial, kepemimpinan, hingga ulasan singkat perjuangan Abah membangun media jaringan terbesar se-Indonesia. Tentu ada juga gurauan-gurauannya. Jadinya saya seperti sedang mengikuti diklat khusus. Narasumbernya langsung sang maestro koran: Dahlan Iskan. Saya memang lebih fokus mengemudi.

Tetapi banyak yang bisa disimak dari perbincangan mereka. Aliran ilmu yang begitu deras. Berbahagia sekali saya saat itu. Tidak semua orang memiliki kesempatan sangat privat, memperoleh penularan ilmu dari Abah.

Begitulah gaya di grup kami. Para bos seperti Pak Dahlan Iskan, almarhum Pak Suparno, Pak HM Alwi Hamu, Pak Yanto, Pak Dwi Nurmawan, menularkan ilmu bisnis kemediaannya sekaligus meng-upgrade semangat timnya, bisa di mana saja tempatnya. 

Termasuk sambil perjalanan di dalam mobil. Ada kalanya keputusan-keputusan penting dihasilkan dari diskusi atau rapat khusus di perjalanan di dalam mobil. 

Saya penasaran. Sejak lama sekali ingin tahu kenapa Pak Dahlan Iskan begitu menggebu menerbitkan koran di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia. Termasuk di Tasikmalaya.  

Ya, saya penasaran sekali. Ingin mendengar langsung dari kreatornya.  “Indonesia terlalu luas. Tidak cukup diurus Jakarta. Agar Indonesia menjadi negara maju, semua daerahnya harus maju. Maka harus ada koran-koran di semua daerah. Makanya kita dirikan koran-koran itu,” jawab Abah.

Koran-koran di semua daerah yang beliau perintahkan untuk diterbitkan--termasuk Radar Tasikmalaya, harus mengambil peran dalam memajukan daerahnya masing-masing. Salah satunya dengan pemberitaan yang sehat. Baik berita yang sifatnya kontrol sosial, informasi, menginspirasi, mengedukasi hingga menghibur.

Pak Dahlan percaya, di daerah itu banyak orang-orang pintar dan hebat. Bahkan bisa lebih pintar dan hebat dari tokoh-tokoh yang sering tampil di media nasional. ”Mereka tidak kalah pintar. Hanya tidak mendapat ruang di media nasional. Tugas Anda harus memberi ruang untuk menampilkan mereka di media lokal kita. Baik di koran maupun televisi,” ujar mantan Menteri BUMN era Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.

Pak Dahlan yakin, jika orang-orang pintar dan hebat itu diketahui publik, besar manfaatnya. Mereka akan jadi tokoh-tokoh lokal yang menginspirasi dan  layak dijadikan panutan. Baik karena kiprahnya maupun konsep dan pemikirannya. 

Tujuannya, misal ketika perhelatan pemilihan kepala daerah, akan banyak pilihan bagi masyarakat. 
Pak Dahlan memahami, tokoh-tokoh lokal sulit mendapat ruang di media terbitan Jakarta. Pun terbitan kota provinsi semisal Bandung, Surabaya, Medan. Koran terbatas halamannya, televisi terbatas durasi tayangnya.

Tags :
Kategori :

Terkait