JAKARTA — Keluhan para pengusaha penyelenggara haji dan umrah terkait pelaksanaan kedua ibadah umat Islam tersebut selama masa pandemi mulai mendapat tenggapan serius dari pemerintah.
Pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) berencana akan mengevaluasi kembali kebijakan penyelenggaraan umrah di masa pandemi Covid-19.
Mengingat sebelumnya, pemerintah Arab Saudi sempat menutup akses untuk melakukan ibadah umrah bagi jemaah Indonesia pada 27 Februari 2020 untuk mencegah penyebaran Covid-19 yang saat itu baru mewabah di dunia.
Kemudian, akses dibuka kembali pada November 2020. Namun belum genap tiga bulan sejak dibuka, Saudi kembali menutup akses umrah bagi jemaah Indonesia pada 4 Februari 2021.
“Nanti kita akan lakukan evaluasi kembali semuanya, dan tentunya berkoordinasi dengan Satgas Covid-19 agar penyelenggaraan umrah tetap aman bagi jemaah,” ujar Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas di Jakarta, Rabu (17/2).
Menurut Yaqut, dengan adanya kebijakan penutupan akses ibadah Umrah tersebut, seluruh pihak dapat memanfaatkan momen ini untuk melakukan evaluasi.
“Jadi nanti kalau Saudi sudah membuka kembali akses umrah, kita sudah betul-betul siap,” ujarnya.
Dalam teknisnya nanti, kata Yaqut, Penyelanggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) diminta membantu pemerintah dalam menyukseskan penyelenggaraan umrah di masa pandemi. Salah satunya,terkait mengedukasi jemaah bila nanti ibadah umrah dibuka kembali.
“Jangan sampai saat di tanah suci, jemaah masih ada yang kedapatan coba-coba tidak menaati protokol kesehatan di Arab Saudi. Karena menurut laporan, masih banyak yang kedapatan melanggar di sana.Saya berharap jemaah umrah kita dapat menjadi contoh bagi dunia,” terangnya.
Hadir dalam pertemuan tersebut Ketua GAPURA Alisan, Ketua Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) Firman M. Nur, Sekjen Forum Silaturahmi Asosiasi Travel Haji dan Umroh (Forum SATHU) Mukharom, serta beberapa jajaran pengurus asosiasi.
Ketua Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) Firman M. Nur menyatakan beberapa keluhan terkait dengan penyelenggaraan ibadah umrah di masa pandemi. Salah satunya adalah, aturan karantina selama enam hari lima malam paska kepulangan dari tanah suci.
“Ini cukup memberatkan bagi jemaah. Karena mereka harus menanggung biaya karantina sendiri, dan itu cukup besar, sekitar 4-5 juta perjemaah,” kata Firman.
Terlebih lagi, kata Firman, permasalahan itu terasa makin berat, ketika banyaknya jemaah Umrah yang tidak berangkat atau tertunda sejak Maret 2020.
“Nah mereka juga sebelumnya sudah diminta menambah biaya umrah, karena berubahnya harga referensi. Yang semula minimal 20juta, berubah menjadi 26 juta,” pungkasnya. (fin/red)