Oleh: Dahlan Iskan
MENDAG Zulkifli Hasan bisa mengklaim dirinya direstui alam. Seminggu setelah dilantik menggantikan Mohamad Lutfi harga sawit dunia turun. Agak tajam.
Lutfi tidak boleh iri. Coba saja penurunan itu terjadi bulan lalu. Pemilik kaki tidak perlu berkeset di Lutfi.
Begitulah komoditas. Ia bisa naik dan turun tanpa melihat siapa yang siap jadi keset.
Pun sekarang ini: tidak jelas benar mengapa harga minyak sawit begitu turun. Perang di Ukraina belum mereda. Bebek goreng masih laris. India dan Tiongkok –pembeli terbesar minyak sawit baik-baik saja.
Lihatlah grafik ini. Begitu anjloknya harga itu –meski masih tinggi.
Akibatnya petani sawit hanya bisa menjual di bawah Rp 1.600/kg. Di banyak lokasi lebih rendah dari itu. Pun ada yang tinggal Rp 1.300/kg.
Harga internasional yang turun itu memang pukulan kedua bagi eksporter. Pukulan pertama datang dari Anda –yang disuarakan oleh Presiden Jokowi: larangan total ekspor itu. Bulan lalu.
Pengusaha minyak sawit kini memang sudah bisa ekspor. Tapi tidak banyak lagi jalan. Mereka harus memilih satu dari dua jalan ini. Inilah jalan ekspor Zulkifli Hasan –yang diaspal di zaman Muhammad Lutfi.
Jalan pertama: lewat jalur DMO/DPO. Yakni, baru bisa ekspor setelah memenuhi kewajiban memasok pasar dalam negeri. Dengan harga dalam negeri pula.
Berarti pengusaha harus menyerahkan 20 persen dari total produksinya ke pabrik minyak goreng. Harga CPO-nya pun sudah ditentukan pemerintah: Rp 11.000/kg.
Keberatan?
Pengusaha bisa pilih jalur kedua: ''beli'' tiket ekspor yang harganya USD 200/ton. Tanpa harus ikut skema DMO/DPO. Itulah pajak tambahan ekspor.
Ketika harga ekspor masih sangat tinggi seperti bulan lalu skema ini bisa banyak dipilih. Tapi karena harga internasional mulai turun pengusaha harus berhitung kembali. Apalagi masih ada pajak ekspor dan pungutan khusus CPO untuk green energi. Kalau dua hal itu saja dijumlah angkanya mencapai hampir USD 500 sendiri.