Parkir itu gratis. Biar pun satu minggu. Ada kotak amal di halaman masjid. Silakan memasukkan uang berapa pun ke kotak itu. Tidak ada yang melihat nilainya.
Saya pun naik speed boat itu. Bermesin tunggal, Yamaha 200 PK. Wajib pakai pelampung. Logistik lengkap. Ada bensin cadangan untuk mesin speed boat. Ada juga logistik cadangan untuk perut dan kerongkongan.
Kami akan berada di speed boat empat jam lamanya. Dari dermaga di tepian Mahakam itu kami meluncur mencari muara Sungai Belayan. Melewati bawah jembatan Liang yang melengkung gagah. Juga sudah dicat merah.
Speed boat kami terus ke arah hilir. Di Kaltim tidak ada istilah utara-selatan-timur-barat. Yang ada: ke arah hilir-hulu-darat dan laut.
Pun istri saya: tidak tahu apa itu utara-selatan-timur dan barat. Kalau dia bilang ”mau ke darat” itu artinya ke arah menjauhi sungai. ”Mau ke laut” artinya ke arah mendekati sungai. ”Ke hulu” artinya ke arah dari mana air sungai mengalir. ”Ke hilir” berarti ke arah air sungai menuju muara.
Kadang ”ke hulu” itu artinya ke timur, kalau sungai lagi berbelok. Bisa juga “ke hulu” itu mengarah ke barat tergantung belokan sungai.
”Di Jawa ini saya bingung. Ngalor ngidul ngetan ngulon,” ujarnyi awal-awal di Jawa dulu.
Lebih bingung lagi menerima penjelasan yang bunyinya seperti ini: Anda terus ke barat, nanti di timur masjid ada sekolahan, lalu di barat sekolahan itu ke utara, terus belok ke timur.
Sampai di muara sungai Belayan, speed boat masih terus ke arah hilir. Mencari muara sungai Senyiur. Sungai Mahakam ini begitu luas. Pun ketika ada dua pelabuhan apung di tengah sungai. Yakni pelabuhan transhipment batu bara. Mahakam tidak terlihat menyempit.
Setelah setengah jam melaju di atas air, ketemulah muara sungai Senyiur. Itulah salah satu anak sungai Mahakam yang andal. Dalam dan lebar. Bisa dilayari tongkang batu bara berisi 7.500 ton.
Speed boat kami pun melaju ke arah hulu Senyiur. Sesekali speed boat harus mengurangi kecepatan. Yakni kalau lagi ada kampung di pinggir sungai. Berarti banyak jamban apung di pinggir sungai. Toilet di situ. Cuci baju di situ. Mandi di situ.
Speed boat kecepatan tinggi akan menimbulkan gelombang yang mengguncang jamban apung yang berderet di pinggir sungai.
Saya pernah tinggal di rumah kakak sulung di Karangasem, Samarinda. Rumahnyi masuk gang agak jauh dari Mahakam. Tapi mandi, toilet dan tempat cuci baju di sungai itu. Saya bisa merasakan guncangan gelombang saat ada kapal lewat.
Menyusuri sungai Senyiur selama 3,5 jam bayangan saya ke tokoh ini: Yos Sutomo. Ia Raja Kayu di masa penebangan hutan masih diizinkan. Ia punya tambang ’emas hijau’ di kampung kelahirannya itu. Ia lahir di desa Senyiur. Di zaman ia kecil perlu tujuh harmal berperahu untuk bisa sampai ke kampungnya dari Samarinda.
Tujuan perjalanan saya tidak jauh dari kampung halaman Haji Yos Sutomo itu. Ada tambang besar batu bara di situ. Bukan milik Haji Yos Sutomo. Bukan juga milik Haji Aseng. Yos Sutomo kini jadi Raja Properti di Kaltim. Haji Aseng jadi kontraktor besar penambangan batu bara.
Setelah memarkir speed boat kami harus menelusuri jalan besar sepanjang 65 Km. Yakni dari dermaga speed boat di sungai Senyiur ke arah tambang milik Bayan Reaources. Jalan inilah yang dibangun Haji Aseng. Jalan begitu besar yang dibangun di tengah hutan.