radartasik.com, TAWANG — Pembangunan Gedung Poliklinik RSUD dr Soekardjo mendapat perhatian kalangan mahasiswa. Sebab, kegiatan yang berlangsung sejak 2021 itu tak kunjung rampung sampai awal tahun ini.
Ketua Koalisi Mahasiswa dan Rakyat Tasikmalaya (KMRT) Arief Rahman Hakim menduga adanya keterlambatan pengerjaan program yang semula dialokasikan sebesar Rp 32 miliar itu.
“Perhitungan kami, pelaksanaan proyek ini seharusnya selesai akhir November 2022, namun sampai ini sudah sekitar 104 hari belum juga selesai,” ujarnya melalui keterangan tertulis kepada Radar, Minggu (23/1/2022).
Kemudian, lanjut dia, otomatis pihak pelaksana kegiatan mesti membayar denda keterlambatan yang sesuai denagn penghitungan, ketika nilai kontrak mengalami perubahan.
Dia mempertanyakan, apakah pembayaran denda dihitung sejak sebelum refocusing sebesar Rp 32 miliar atau pasca refocusing dengan nilai Rp 15 miliaran. “Kami mendapat informasi, padahal di bulan November teguran sudah di sampaikan sebanyak 2 kali, lalu di awal Desember 1 kali teguran,” tuturnya.
“Kami menenggarai adanya persoalan dalam mengubah kontrak pasca refocusing. Kami pun menduga ada kecerobohan dalam pelaksanaan karena dilihat di lokasi ada bagian bangunan beton yang melengkung diduga tidak sesuai spek juga,” paparnya yang juga melakukan peninjauan langsung ke lokasi.
Ia menegaskan manajemen RSUD berhati-hati, tatkala nantinya melakukan serah terima hasil pekerjaan. Supaya, tidak menjadi persoalan di kemudian hari yang disebabkan ada kesalahan atau kekurangan dalam pelaksanaan pembangunannya. “Keterlambatan dan kecerobohan pengerjaan ini PPK harus berani mengambil sikap tegas dan harus bertanggung jawab atas perubahan kontrak terutama terkait nilai hitung denda keterlambatan pekerjaan tersebut,” tegas Arief.
“Supaya ke depannya tidak ada lagi main-main terhadap pekerjaan pemerintah sebab itu bersumber dari rakyat bukan pemangku kebijakan,” katanya.
Arief menaksir pembuatan addendum menjadi titik dasar lambatnya pelaksanaan proyek sekaligus menjadi dasar penghitungan keterlambatan pekerjaan.
Menurutnya patut diduga ada indikasi pengubahan addendum yang bisa menguntungkan pihak lain, sehingga terhindar dari denda besar dan sanksi daftar hitam.
“Belum lagi dari kualitas pekerjaannya dimungkinkan ada kekurangan tatkala proses administrasinya penuh pertanyaan. Di samping itu, akibat penundaan addendum hampir 2 bulan dapat berakibat bengkaknya biaya SPJ atau pengeluaran panitia proyek karena diduga masih mengacu kepada proyek awal sebesar Rp 32 miliar,” analisis Arief.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya dr Uus Supangat mengakui hal tersebut harus dicek terhadap sejumlah pegawai yang melaksanakan program pembangunan RSUD.