Terbitkan Permenkumham, Yasonna Bikin Puluhan Musisi Geram

Selasa 21-12-2021,05:00 WIB
Reporter : tiko

Radartasik.com — Puluhan musisi dan pencipta lagu dengan tegas melayangkan penolakan terkait pengelolaan royalti diserahkan kepada perusahaan swasta, yang sebelumnya oleh negara. Mereka menolak Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan PP 56/2021 sebagai aturan turunan dari UU Hak Cipta.

Mereka yang menolak antara lain Indra Lesmana, Hanny Lesmana, Anto Hoed, Melly Goeslaw, Once Mekel, Eki Puradiredja, Yovie Widianto, Pay Burman, Thomas Ramdhan, dan Bimo Sulaksono. Selain itu, ada pula Cholil Mahmud, Tompi, Eross Chandra, Endah Widiastuti, Rhesa Adityarama, Eva Celia, Iga Massardi, Ipang Lazuardi, Mondo Gascaro, Riko Prayitno, Bagus Dhanar Dhana, Bondan Prakoso dan Sandhy Sondoro.

Sejumlah musisi menilai, Permenkumham 20/2021 sebagai aturan pelaksanaan dari PP 56/2021 ternyata memberikan kewenangan berlebih kepada korporasi. Bukan hanya sebagai vendor untuk membangun SILM, tapi juga mengambil alih seluruh kewenangan dan fungsi LMKN dengan atribut sebagai pelaksana harian dan diberikan hak untuk memotong 20 persen dari royalti yang ditarik dan dihimpun untuk kepentingan dana operasional.

“Potongan yang semula hanya 20 persen untuk dana operasional LMK, termasuk LMKN, bertambah 20 persen lagi. Padahal, dalam UU Hak Cipta, potongan maksimal seharusnya hanya 20 persen. Kebijakan ini jelas bertentangan dengan UU Hak Cipta dan sangat merugikan para pencipta lagu,” kata Indra Lesmana selaku inisiator dari Aliansi Musisi Pencipta Lagu Indonesia (AMPLI) dalam jumpa pers virtual Senin (20/12).

Indra Lesmana melanjutkan, pada saat perjanjian ditandatangani pada 19 Mei 2021 antara LMKN dan korporasi yang ditunjuk, salah satu komisioner LMKN disebut juga memiliki saham pada korporasi yang ditunjuk sebagai pembangun SILM dan pelaksana harian. “Sehingga hal itu jelas sekali terjadi konflik kepentingan,” paparnya.

Penyerahan kewenangan pelaksana harian kepada korporasi disebut sebagai pengulangan sejarah zaman Orde Baru dan bertentangan dengan semangat reformasi. Sebab, negara membuat regulasi untuk menyerahkan kewenangannya kepada korporasi guna mengurus kepentingan publik.

“Yang kita tahu seperti kasus monopoli cengkih dan perdagangan jeruk pada era Orde Baru, yang berakhir tragis dengan hancurnya harga cengkih dan jeruk, dan malah menjadi melaratnya para petani komoditi. Apakah kita semua saat ini secara sadar ingin mengulang sejarah kelam tersebut?” tegasnya.

Berikut 3 poin pernyataan sikap puluhan musisi yang tergabung dalam AMPLI.

1. AMPLI menolak ketentuan-ketentuan dalam PP 56/2021 dan Permenkumham 20/2021 yang memberikan pihak swasta kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti. Dan karenanya AMPLI meminta PP 56/2021 dan Permenkumham 20/2021 dibatalkan.

2. AMPLI menolak segala kebijakan pemerintah yang membuka pintu bagi pihak swasta untuk mengambil alih peran negara dalam melaksanakan kewenangan penarikan, penghimpunan, dan pendistribusian royalti yang merupakan kewenangan Negara, serta mendorong pemerintah Republik Indonesia untuk membangun Pusat Data Lagu dan Musik (PDLam) serta SILM bersama Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual selaku regulator pengelolaan hak cipta.

3. AMPLI mendorong LMKN untuk memperbaiki kinerja dan transparansinya untuk kembali membangun kepercayaan publik selama pengembangan PDLM dan SILM. (jpg)
Tags :
Kategori :

Terkait