radartasik.com, BUNGURSARI — Meski Mal Pelayanan Publik (MPP) sudah efektif beroperasi selama beberapa bulan, masyarakat secara umum belum mengetahui tenant dan pelayanan apa saja yang disediakan di sana. Ditambah lagi, sejumlah peraturan perizinan tengah memasuki masa transisi, imbas terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja.
Ketua Komisi I DPRD Kota Tasikmalaya H Ate Tachjan mengakui stigma publik saat ini, MPP hanya diketahui untuk pengurusan izin pendirian bangunan saja.
“Memang stigma publik kesannya itu urus IMB saja, padahal layanan di sana ada 21 tenant menyediakan beragam instansi pemerintah daerah pun vertikal, sampai pajak-pajak dan perbankan,” tuturnya kepada Radar, Kamis (25/11/2021).
Ia menyarankan inovasi yang merupakan wujud keseriusan Pemkot Tasikmalaya dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, mesti disosialisasikan dengan masif. Dikampanyekan secara serius supaya semua kalangan masyarakat tahu, bahwa pemerintah sudah selangkah lebih dekat menuju good and clean government.
“Ditambah lagi, kita sedang masa transisi perubahan IMB menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), jadi seolah MPP belum berjalan secara efektif, meski sebenarnya layanan lain di sana cukup sibuk diakses masyarakat, jadi tidak mubazir,” tutur mantan birokrat pada Kementerian PUPR tersebut.
“Memang orang awam akan menilai MPP urus bangunan saja, padahal di sana kan operasional perusahaan, UMKM, dan urusan lain sampai bayar pajak kendaraan juga bisa, jadi memang sosialisasinya yang lemah sehingga stigma orang kebanyakan cuma urus-urusan IMB,” sambung politisi Golkar tersebut.
Di lain pihak, Sekretaris Komisi III DPRD Kota Tasikmalaya H Wahid mengakui di beberapa daerah, penerbitan izin bangunan mandek. Bahkan, ada yang sampai moratorium, selagi sistem yang dirancang kementerian masih di masa transisi.
Ia pun mendorong Pemkot segera melakukan konsultasi dan koordinasi, supaya ada solusi di daerah. Kegiatan, pembangunan yang dilaksanakan masyarakat secara umum bisa terlayani dengan legal, meski regulasi penarikan retribusinya belum tuntas. “Meski tidak tertarik potensi pendapatannya lewat retribusi, minimal perizinan masyarakat ada solusi yang legal. Karena, pembangunan dan geliat investasi juga kalau transisi terus begini mau bagaimana,” tutur politisi PKB tersebut.
Tidak hanya kaitan retribusi, lanjut Wahid, Pemkot pun mesti merampungkan pembentukan tim yang mana menjadi salah satu rekomendasi persyaratan perizinan bangunan. Diinputkan ke SIMBG, kemudian diterbitkan selama kurun waktu tertentu, dan masyarakat barulah bisa menggarap pembangunan.
“Jadi itu pun harus disiapkan, tapi memang prosesnya tidak mudah. Pemkot harus melangkah serius dan konkret, bagaimana di masa transisi ini tidak terjadi kemandekan layanan kepada publik,” harap Wahid.
“Per 2 Agustus itu daerah sudah dilarang untuk menarik retribusi, kalau pun ditarik mesti disetorkan ke pusat. Informasinya sekitar Rp 400 juta sudah dikantongi daerah, karena payung hukum belum ada (Perda Retribusi PBG, Red), otomatis itu disetorkan ke kas negara, seperti di daerah lain,” sambung dia.
Terpisah, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Tasikmalaya Hanafi menjelaskan saat ini Pemkot dan DPRD tengah menggodok Perda Retribusi PBG, yang ditarget bisa diparipurnakan secepatnya. Kemudian, disampaikan ke provinsi, Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri untuk dievaluasi. “Semoga Desember ini tuntas, ini tengah digodok di DPRD dan kita pun di Pemkot maraton mengonsultasikan kaitan pelayanan perizinan di daerah di masa peralihan ini,” katanya.
“Itu aksesornya pun Dinas PUTR dan print out legalitasnya ditandatangani oleh kami. Namun sekarang sistemnya masih dalam penyesuaian dan perlu berkonsultasi dengan kementerian selaku pemilik otoritas, jadi kita proses perizinan jalankan dengan manual dulu, sesuai edaran Pak wali untuk mendorong pelayanan perizinan masyarakat tetap terlayani,” papar Hanafi.
Kategori :