Muhammadiyah : Cabut Atau Rubah Permendikbudristek tentang Penanganan Kekerasan Seksual

Selasa 09-11-2021,15:45 WIB
Reporter : radi

Radartasik.com, JAKARTA — Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah menilai, bahwa Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) nomor 20 tahun 2021 tentang penanganan kekerasan seksual memiliki banyak masalah. Mulai dari cacat formil hingga materil.

Permendikbudristek itu dinilai tidak memenuhi asas keterbukaan dalam perancangannya. Hingga memuat pasal yang seolah melegalkan adanya seks bebas dengan asas suka sama suka dan persetujuan antara korban dengan pelaku.

Dengan dasar itu, Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Lincolin Arsyad mengajukan tiga rekomendasi atas beberapa masalah dalam Permendikbudristek tersebut. Salah satunya mencabut Permendikbudristek tersebut.

“Sebaiknya mencabut atau melakukan perubahan terhadap Permendikbudristek nomor 30 Tahun 2021,” kata Lincolin dalam keterangannya, Selasa (9/11/2021).

Menurut Lincolin, pencabutan atau perubahan itu agar ke depan perumusan peraturan sesuai dengan ketentuan formil pembentukan peraturan perundang-undangan.

Rekomendasi kedua, dia mengingatkan Kemendikbudristek agar mampu merumuskan kebijakan yang berdasarkan pada nilai-nilai agama, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

“Agar secara materil tidak terdapat norma yang bertentangan dengan agama, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” ujarnya.

Rekomendasi ketiga, pihaknya ingin Kemendikbudristek lebih akomodatif dalam menyusun kebijakan. Kebijakan yang disusun mesti mengampu seluruh unsur penyelenggara pendidikan tinggi.

“Serta memperhatikan tertib asas, dan materi muatan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,” imbuhnya.

Hal ini dimaksudkan agar pembentukan Peraturan Menteri memenuhi asas keterbukaan dan materi muatan, sebagaimana ketentuan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Dengan lebih akomodatif maka substansi Peraturan Menteri mendapatkan perspektif dari berbagai masyarakat yang bersifat aspiratif, responsif, representatif, tidak resisten, serta tidak menemui kendala atau hambatan apabila diimplementasikan.

“Standar pembentukan Peraturan Menteri sebaiknya ada tahapan public hearing, focus group discussion, dialog, dengar pendapat, jajak pendapat atau survei, atau mekanisme lain yang pada prinsipnya bisa melibatkan dan mengakomodasi publik dan para pemangku kepentingan terkait,” punglkasnya.

Dapat diketahui, Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) menuai kontroversi.

Sebab, dalam pasal 5 Permendikbudristek tersebut seolah tersirat tindakan kekerasan seksual bisa dilegalkan jika mendapat persetujuan korban. (der/fin)

Tags :
Kategori :

Terkait