radartasik.com, JANGAN bayangkan sekolah kebanyakan. Anak-anak berbaju seragam. Duduk rapi di balik meja. Kemudian, sibuk menyalin catatan dari papan tulis. Di SMK Bakti Karya, siswa dan siswi lebih banyak mengeksplorasi diri. Mereka belajar tanpa sekat. Murid kelas X bergabung dengan kelas XI dan XII. Tatap muka di luar kelas. Belajar di halaman dan kebun.
Sampai praktik berdemonstrasi. Bukan tidak ingin berlama-lama di dalam kelas, lewat metode itu, para guru di sana ingin anak-anak didik mereka terbiasa berpikir terbuka.
Ai Nurhidayat adalah motor kelas multikultural di SMK Bakti Karya. Bersama teman-temannya, dia aktif membuka kelas-kelas ”bebas” sejak 2009, ketika usianya baru 20 tahun. ”Sejak masih kuliah,” kata alumnus Universitas Paramadina tersebut dikutip dari Jawa Pos, Sabtu (9/10/2021).
Setiap pulang ke Parigi, Ai berkumpul bersama teman-temannya sesama pemuda. Mereka yang berbasis di Tasikmalaya, Ciamis, dan Pangandaran berkumpul di Parigi. Di sebuah pondokan sederhana yang sampai saat ini menjadi bagian ruang belajar anak-anak didiknya.
Dari satu sekolah ke sekolah lainnya, Ai dan teman-temannya keliling. Mengetuk pintu untuk berbagi ilmu. Dari SD, SMP, sampai SMA. Mereka datang untuk mencari potensi dan mengajarkan hal-hal baru. Misalnya, pelatihan bahasa asing, menulis, teater, berkemah, sampai keberanian berbicara di muka umum.
Meski tidak jarang ditolak pihak sekolah, gerakan itu terus membesar hingga menjadi komunitas bernama Sabalad. Bukan hanya dari Pangandaran, Ciamis, dan Tasik, banyak mahasiswa dari daerah lain yang juga ikut bergabung.
Bersama-sama, mereka semakin sering keliling dari satu sekolah ke sekolah lain. Dua tahun berselang, SMK Bakti Karya berdiri. Membuka kelas profesi. ”Tahun 2011 berdiri, 2012 mau bangkrut, 2013 diakuisisi,” papar Ai.
Ketika datang ke SMK Bakti Karya, Athif turut menyambut. Bersama Ai, dia lantas mengajak kami mengobrol di belakang sekolah. Di sebuah saung sederhana. Duduk mengelilingi tungku. Beberapa siswa tengah latihan teater. Ada yang berasal dari Papua, Nusa Tenggara Timur, dan daerah lainnya. ”Sebagian (siswa, Red) sudah pulang. Guru-gurunya juga sudah pulang,” kata Ai.
Mereka berlatih untuk tampil di Kampung Nusantara. Di kampung itu pula, mereka tinggal selama menempuh pendidikan. ”Ada asrama putri, ada juga asrama putra,” jelasnya.
Siswa SMK Bakti Karya memang lebih memilih tinggal di asrama. Selama tiga tahun belajar, mereka tidak pulang ke rumah. Jarak dari sekolah ke asrama mereka di Kampung Nusantara tidak jauh. Jadi, mereka bisa berjalan kaki setiap berangkat dan pulang sekolah.
Asrama menjadi satu di antara tiga poin implementasi Tri Pusat Pendidikan yang dicetuskan Ki Hajar Dewantara. Yakni, keluarga, masyarakat, dan sekolah. Mereka menempatkan asrama sebagai bagian dari keluarga, kemudian warga Kampung Nusantara dan sekitarnya sebagai masyarakat, serta SMK Bakti Karya sebagai sekolah.
Lantaran memiliki siswa dan siswi yang berasal dari berbagai daerah, tidak sedikit yang beda suku dan agama. Bukan hanya di antara para siswa dan siswi, perbedaan itu juga ada saat mereka harus berinteraksi dengan warga lokal yang didominasi masyarakat Sunda.
Sejak datang dari daerah asal ke Parigi, mereka dibiasakan menerima perbedaan. Mereka juga diarahkan untuk menghargai keberagaman. Karena itu, tidak pernah ada pertengkaran yang dipicu perbedaan tersebut. Yang ada hanya adu gagasan dan argumen.
Kategori :