Oleh: Dahlan Iskan
KEJADIAN paling seru kadang justru yang tidak direncanakan. Dan itu terjadi kemarin. Di hari pertama Lebaran. Di Banyuwangi.
Acara kami: makan siang bersama. Tidak tahu di mana. Di mana saja bisa. Pasti ada restoran di sepanjang jalan ini: dari Banyuwangi ke Bangsring –lokasi wisata bawah laut, sekitar 12 km dari kota.
Kami berangkat jam 12.30. Mereka harus menunggu acara saya selesai: berbincang dengan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Banyuwangi. Di kantor NU. Di pusat kota.
Ternyata tidak ada resto yang buka. Pun ketika perjalanan sudah sampai di Ketapang.
Ivo, istri Azrul Ananda, lihat Google. Ada. Hanya 5 km dari Ketapang. Setelah dilihat lebih jauh ternyata itu di Gilimanuk. Di Bali. Yang memang hanya 5 Km dari Ketapang.
Mau menyeberang? Pakai ferry? Kan hanya 45 menit?
Tidak. Kami terus ke utara. Ups.. Ada satu restoran besar buka. Ramai. Kami pun memasuki tempat parkirnya yang luas. Sebelum berhenti, petugas parkir datang: tidak bisa menerima order lagi. Terlalu penuh.
Ya sudah.
Ada lagi satu restoran Padang. Kecil sekali. Tapi juga penuh sekali.
Maka tidak ada lagi tanda-tanda bisa makan. Tidak ada lagi bangunan di kiri kanan jalan. Yang ada hanya pepohonan.
"Itu! Ada warung pinggir jalan," ujar Azrul seraya menunjuk bangunan tunggal yang sederhana. Sepi. Sendiri. Tidak ada pengunjung sama sekali. Cuma ada satu meja di emperannya. Ada cobek dan uleg-uleg di atas meja itu: alat pembuat rujak.
Ternyata ada juga rawon, lodeh, dan mie instan. Di dalam rak kaca terlihat ada telur dadar dan potongan ayam goreng.
"Saya rawon," kata Azrul.
"Saya lodeh," kata istri saya.