Radartasik.com, JAKARTA — Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) membuat terobosan dengan mendirikan universitas Cyber Islamic University. Nantinya para mahasiswa yang kuliah di universitas tersbut akan mengikuti kegiatan belajar atau kuliahnya 100 persen secara virtual alias tidak ada pertemuan secara fisik.
Dijadwalkan September ini kampus tersebut sudah bisa menerima mahasiswa baru.
“Cyber Islamic University ini adalah universitas yang didesain 100 persen virtual. Jadi tidak ada pertemuan fisik. Kecuali wisuda, mungkin. Seperti (halnya) di Hankuk University of Foreign Studies di Korea Selatan,” ujar Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas saat rapat di Komisi VIII DPR RI, Jakarta, Kamis (02/09/2021) yang dikutip dari FIN.
Pendirian kampus online Cyber Islamic University tersebut merupakan hasil kerjasama dengan Hankuk University of Foreign Studies, Korea Selatan.
Diungkapkan Menag, keberadaan Cyber Islamic University akan berbeda dengan Universitas Terbuka (UT) yang ada saat ini mulai berubah memiliki bentuk fisik bangunan (kampus) dan ada pertemuan-pertemuan tatap muka secara fisik. Justru Cyber Islamic University itu sebaliknya.
“Kampus ini menjadi antitesis Universitas Terbuka. Karena 100 persen daring. Studi sudah dilakukan bersama Hankuk University Korea Selatan, yang memiliki sekolah online terbesar di dunia. Insya Allah September ini sudah bisa menerima mahasiswa baru,” paparnya.
Yaqut membeberkan, bahwa tujuan pembentukan universitas online ini untuk memberikan kesempatan kepada para guru madrasah untuk kuliah dan menimba ilmu lebih tinggi. Sebab, sampai saat ini masih banyak guru madrasah yang tidak memiliki kesempatan kuliah. Salah satu alasannya, karena berbagai keterbatasan.
“Ini untuk afirmasi lebih banyak kepada terutama guru-guru madrasah. Sebagaimana amanat UU Pesantren, yang memiliki keterbatasan banyak hal. Misalnya keterbatasan biaya, waktu, tempat dan seterusnya,” tuturnya.
Melalui kampus online ini, Yaqut berharap para guru madrasah punya kesempatan kuliah. Tentu dengan biaya yang murah dan mudah tanpa harus ada pertemuan secara fisik.
“Bayangkan guru-guru madrasah gajinya Rp 200 ribu atau Rp 300 ribu sekian. Untuk kuliah nggak mungkin. Untuk beli beras saja kurang. Bagaimana mau kuliah,” pungkasnya. (jpc)