Proses Hukum Terhadap Jiwasraya dan Asabri Dinilai Tak Ramah Investor

Selasa 17-08-2021,04:30 WIB
Reporter : agustiana

radartasik.com - Hasil survei KedaiKopi yang mengungkap bahwa penegakan hukum dalam kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asabri (Persero) mempengaruhi kinerja pasar saham ataupun investasi di Indonesia, bukan isapan jempol belaka.

Beberapa investor asing yang kabur dari Indonesia antara lain, Morgan Stanley Sekuritas Indonesia broker saham dan lembaga keuangan internasional, PT Merrill Lynch Sekuritas Indonesia dan Citibank Indonesia, PT Deutsche Bank Sekuritas Indonesia dan PT Nomura Sekuritas Indonesia, juga telah resmi mengumumkan mengurangi bisnis jual beli saham di Indonesia.
 
Selain itu, posisi investasi internasional (PII) Indonesia mencatatkan kewajiban neto pada tahun lalu US$ 281,2 miliar, turun dari US$ 337,9 miliar pada 2019. 

Bahkan dalam survei terbaru Bank Dunia di laporan terbarunya yang bertajuk Global Investment Competitiveness (GIC) menyebutkan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang paling restriktif dalam konteks penanaman modal asing (FDI). 

Hal tersebut mengindikasikan bahwa RI masih belum seramah dan terbuka itu terhadap investor.

Bahkan dalam survei Indonesia Political Opinion, Kejaksaan tidak masuk 20 besar lembaga yang rendah tingkat kepuasan responden terhadap kinerja lembaga nonkementerian.

Analis CSA Research Institute Reza, Priyambada mengungkapkan, bahwa setiap kasus hukum yang menjerat salah satu emiten akan membuat harga suatu saham turun. 

“Karena pelaku pasar itu sangat khawatir, dan membuat harga saham terkait mengalami penurunan. Bahkan dalam sebuah diskusi pelaku pasar, jika ada oknum yang bersalah maka diperlakukan sebagai entitas pribadi, bukan perusahaannya yang dibekukan atau sebagainya,” kata Reza dalam webinar Perilaku Abuse of Power Atas Aset Berkedok Penegakan Hukum, yang dikutip Senin 16 Agustus 2021.

Yang perlu masyarakat tahu apakah kejaksaan itu cukup paham atau tidak terkait dengan penanganan investasi di pasar modal itu seperti apa. Begitu pula soal pemahaman unrealized loss dalam sebuah transaksi saham. 

Reza pun mencontohkan Asabri-Jiwasraya membeli saham A dengan harga 2730, dan setelah 3 bulan investasi ternyata harga sahamnya turun ke 2630. 

“Akhirnya secara pembukuan dia sudah mengalami kerugian berapa? 100 poin. Nah 100 poin itulah yang disebut sebagai unrealized loss. Jadi ruginya itu masih rugi potensial, seperti itu. Terus tiba-tiba datanglah aparat penegak hukum meriksa si MI ini, terus menganggap si MI ini merugikan negara. Lah yang merugikan negara itu siapa gitu, atas dasar apa merugikan negara. Lalu, kemudian uang negara yang mana yang dirugikan,” ujarnya lagi.

Menurut dia, status merugikan negara itu misalkan ada dana APBN yang sekian triliun terus kemudian dipakai hal yang tidak benar maka baru dianggap merugikan negara. 

“Tapi ini ada uang nasabah yang diinvestasikan ke dalam suatu portofolio, kok ini dianggapnya ada kerugian negara? Kan uang negara hanya digunakan untuk mendirikan perusahaan asuransi ini. Jadi sebenarnya aset perusahaan asuransi berupa saham ini dana nasabah pemegang polis atau punya negara. Apa yang salah, sampai sekarang nalar kita belum nyampe terkait dengan penanganan kasus ini. Sungguh proses hukumnya sangat diluar nalar,” paparnya.

Ia pun berharap jangan sampai karena ada penanganan kasus hukum di pasar modal yang salah justru mempengaruhi kepercayaan investor. 

Apalagi saat ini market cap berdasarkan statistik pasar modal Indonesia sudah mencapai Rp7.100 triliun. 

“Anggaplah misalkan, pada akhirnya karena proses hukum ini menyebabkan polis dari Asabri maupun Jiwasraya tidak bisa dicairkan. Terus kemudian, Jiwasraya dan Asabri anggaplah masing-masing memiliki 500 investor, terus mereka gak percaya lagi dengan pasar modal. Artinya kita sudah kehilangan 1000 investor. Padahal perlu digarisbawahi, misi dari OJK maupun Bursa Efek Indonesia itu meningkatkan literasi keuangan yang diyakini akan meningkatkan kapitalisasi pasar, dan sebagainya," paparnya. 

"Jika kemudian ada ketidakpercayaan pada pasar modal tentu jadi merepotkan, apalagi sekarang adalah eranya media sosial yang bisa menjadi booster ketidakpercayaan, tentu bukan itu yang kita harapkan,” imbuhnya.

Tags :
Kategori :

Terkait