radartasik.com, CIAIMIS — Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Kabupaten Ciamis menilai otonomi daerah di Pemkab Ciamis tidak berjalan efektif. Hal itu diungkapkan Ketua Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah HMI Cabang Ciamis Ilham Nur Suryana kepada Radar, Minggu (8/8/2021).
Kata Dia, otonomi daerah merupakan hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom atau pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat yang berada dalam daerah tersebut.
Ilham menjelaskan, hasil kajian HMI bahwa tidak efektifnya pelaksanaan otonomi daerah Pemkab Ciamis di masa pandemi Covid-19. “Hal ini kita sampaikan berdasarkan tiga tinjauan, di antaranya, tinjauan hukum, tinjauan sosial politik masyarakat dan tinjauan tata kelola pemerintah daerah di masa pandemi,” ujarnya.
“Secara tinjauan hukum, sebagai mana diatur dalam UU Dasar 1945 pasal 18 ayat (5) pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.
Lanjut dia, memang presiden adalah pemegang tanggung jawab akhir atas penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan daerah. Secara detail pelaksanaan di abarkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Sejak ditetapkannya pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional di Indonesia, sebagai awal mula pemerintah pusat mengambil alih penanganan secara sentralistik. Disusul dengan diterbitkannya PERPU No 1 Tahun 2020 yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No 2 tahun 2020 dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan,” kata dia.
“Yang memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi dan penggunaan anggaran pendapatan dan belanja daerah,” ucap dia, menjelaskan.
“Salah satunya dengan mengintegrasikan antar kebutuhan penyelesaian penyebaran Covid-19 dan menginventarisir kebutuhan masyarakatnya dengan baik. Mengingat sebagus apapun kebijakan pemerintah tidak akan berarti apa-apa ketika masyarakatnya sendiri tidak paham dengan fungsi dan tujuan kebijakan itu sendiri,” ujarnya, menambahkan.
Lanjut Ilham, secara tinjauan tata kelola pemerintah daerah, dalam situasi darurat seperti sekarang pemerintah daerah cenderung menjadi pelaksana dari pusat, ciri yang menonjol adalah pemerintah daerah hanya berkewajiban melaksanakan kebijakan yang dibuat secara terpusat dengan diskresi yang sangat kecil tanpa hak untuk berbeda.
“Implikasinya pemerintah daerah hanya berkedudukan sebagai objek yang bergantung kepada pemerintah pusat. Padahal secara kebijakan antar pusat dan daerah sudah dikonstruksi dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di daerah adalah kesetaraan atau kemitraan, di mana undang-undang ini menggunakan asas dekonsentrasi dan desentralisasi dilaksanakan secara bersama-sama,” paparnya.
Menurut dia, pemerintah pusat lebih sering mengeluarkan kebijakan atau instruksi secara sentralistik. Padahal pemerintah daerah juga berhak punya keleluasaan dalam penanganan pandemi Covid-19. Karena yang lebih dekat dengan masyarakat adalah pemerintah daerah ketimbang pusat.
“Tinggal bagaimana pemerintah pusat melakukan fungsi monitoring dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan desentralisasi serta pelaksanaan otonomi daerah pada pemerintah daerah. Dari tinjauan tersebut kami menilai adanya disorientasi kebijakan pusat dan daerah dalam menjawab kebutuhan masyarakat di masa pandemi Covid-19,” terangnya.