TFH: Penerima Dana Hibah yang Disunat Hanya Korban

Senin 02-08-2021,09:30 WIB
Reporter : syindi

radartasik.com, SINGAPARNA - Mantan Bupati Tasikmalaya Dr H Tatang Farhanul Hakim (TFH) meminta agar penerima bantuan Hibah Pemkab Tasikmalaya Tahun Anggaran 2018 tidak menjadi korban atau tersangkut hukum. Karena mereka sebenarnnya menjadi korban atas pemotongan bantuan hibah ini.

“Nah, yang saya anggap pelanggaran dari awal itu, termasuk hibah tahun 2018. Kemudian sejak Bupati Uu menjabat 2011, itu kasus pemotongan hibah sudah mulai muncul,” ungkap Tatang kepada Radar, Minggu (1/8/2021).

Bahkan, Tatang sendiri sempat bertemu dan berbicara dengan bupati Tasikmalaya Uu Ruzhanul Ulum, Dinas Keuangan termasuk Inspektorat pada saat itu. “Saya kaget, ketika ada beberapa ulama yang menelepon saya, menyampaikan bantuan keuangan itu dipotong,” paparnya.

Apalagi, ungkap dia, pemotongannya tidak sedikit, bahkan sampai 90 persen. Padahal, pada era kepeimimpinannya tidak ada yang namanya praktik pemotongan bantuan keuangan hibah atau bansos secara pribadi maupun sistem.

“Artinya semua perangkat daerah yang terlibat dalam proses bantuan, itu tidak ada istilah potongan. Tetapi kenapa ketika kepala daerah sesudah saya, banyak muncul pemotongan bantuan keuangan, sampai sekarang,” katanya.

Tatang sangat menyayangkan, pemotongan bantuan keuangan hibah ini terus terjadi dan terulang. Pada intinya, fenomena ini muncul akibat kebijakan pemerintah daerah yang belum benar dan sistemnya harus diperbaiki.

“Jadi judulnya bantuan hibah, tetapi di dalamnya malah merampas hak uang rakyat dan negara. Seharusnya penerima mendapatkan Rp 100 juta, malah dapat Rp 20 juta, kan keterlaluan,” jelasnya.

Maka dari itu, ungkap dia, agar tidak terulang atau terjadi kembali kasus seperti pemotongan ini, pemegang kebijakan atau bupati dalam hal ini harus bertanggung jawab membenahi sistem dan teknis dalam penyaluran bantuan keuangan ini.

“Seharusnya bantuan keuangan hibah atau bansos ini semuanya harus 100 persen diterima oleh penerima. Itu sudah menjadi haknya lembaga atau yayasan yang menerimanya,” dorong dia.

Pada umumnya, lanjut dia, yang menerima bantuan keuangan hibah ini kan lembaga atau yayasan. Sementara aturan administrasi dibentuk, harus ada SK Kemenhumkam, tetapi realisasi di lapangan malah seperti ini terjadi pemotongan. “Saya mendukung, kasus dugaan pemotongan Hibah Pemkab Tasikmalaya 2018 ini masuk ke ranah hukum dan diusut. Kalau bisa semua, bukan hanya 2018, dari 2011 sampai saat ini,” terang dia.

“Kalau diakumulasikan jumlahnya mungkin bisa mencapai triliun sekian tahun dari APBD. Artinya penerima hanya menjadi korban, yang untung adalah perorangan atau oknum. Apakah itu bentuknya tim atau pribadi. Jadi ini sudah terikat sistem, kalau semua peduli bahwa ini salah maka bisa semua kena. Baik itu eksekutif atau legislatif,” ujar dia, menjelaskan.

“Saya sudah beberapa kali memberikan peringatan kepada bupati dan kepala dinas, jangan sekali-kali merampas uang negara dengan dalih bantuan keuangan,” tambah dia.

Selanjutnya, dorong dia, kepada penegak hukum harus ada keberanian untuk mengusut tuntas. Karena fenomena pemotongan hibah ini akan menjadi penyakit kronis kalau belum ada efek jera bagi para pelakunya.

“Jadi harus disisir, dari mulai kebijakan bupati sampai keluar SK dan realisasi. Kasihan lah para penerima atau masyarakat. Jadi harus satu pintu perbaikan sistem penyalurannya, ada bantuan sosial dari Dinas Sosial, bantuan lembaga ada kesejahteraan masyarakat, jadi tidak harus lagi ada biaya lain atau pemotongan,” katanya.

Jadi sekali lagi, tegas dia, jangan sampai yang dikorbankan itu adalah penerima. Intinya kalau yang menerima bantuan berapa pun pasti akan diterima. Akan tetapi dari mulai kebijakan sampai proses eksekusi ada mainan yang tidak sehat.

“Saya tidak mendukung, kalau penerima itu dihukum. Karena meraka hanya berpikir berapa pun bantuannya pasti diterima dan penerima menjadi korban sistem. Dan oknum yang memotongnya harus diusut tuntas diproses hukum,” tambah dia.

Tags :
Kategori :

Terkait